Jarak bagian sembilan "Teguh"

Hai pembaca. Selamat datang di cerbung jarak. Jika ada yang belum membaca jarak bagian sebelumnya tinggal klik

Jarak bagian kesatu
Jarak bagian kedua
Jarak bagian ketiga
jarak bagian keempat
Jarak bagian kelima
Jarak bagian keenam
Jarak bagian ketujuh
Jarak bagian kedelapan

Selamat membaca

"Siapa yang tahu manfaat menulis ? "

Suara Bu Mey membuyarkan lamunan. Sejak pelajaran pertama entah bagaimana pikiran Gilang susah menemukan fokusnya. Selalu terbayang wajah Jama. Persis seperti orang yang sedang dilanda cinta. Bukan karena suka ke Jama. Merinding bulu kuduk jika itu benar adanya. Rasa khawatir hinggap di kepala Gilang.

Ketika menjadi penumpang gelap di Truk sapi. Jama hanya terdiam, hening tanpa suara tidak seperti biasanya. Dalam keadaan normal, Ia adalah anak yang over ceria. Selalu menampilkan senyuman di segala kondisi. Contoh sederhananya ketika akhir tahun lalu. Orangtuanya marah melihat raport Jama dipenuhi warna merah. Selama 30 menit ceramah medley dengan amarah ditujukan kepadanya. Jama hanya tersenyum sesekali mengangguk. Tidak terlihat rasa kesal diraut wajahnya. Jama tetap ceria diberbagai kondisi, tapi tidak ketika di Truk itu.

Lamunan Gilang dipaksa berhenti. Ketika orang di samping berdiri dan mengangatkan tangan. Teguh berniat menjawab pertanyaan Bu Mey.

" Iya, Teguh. Coba sebutkan manfaat menulis," Bu Mey tersenyum menanti jawaban Teguh.

"Sederhana Bu, manfaat menulis sebenarnya untuk menyampaikan pesan," Teguh menjawab penuh keyakinan.

"Memang salah satu itu Teguh, tapi coba disertai contohnya. Kenapa menulis bermanfaat sebagai penyampai pesan," masih dengan wajah keibuannya. Bu Mey mencoba mengasah ketajaman berpikir muridnya.

Bu Mey berharap Teguh menjawab dengan alasan yang mampu dipahami siswa lain. Sudah menjadi rahasia umum. Daya pikir Teguh diluar batas normal. Pernah suatu hari, Teguh menjawab pertanyaan Bu Mey tentang mengapa bisa terjadi hujan. Teguh dengan mantap berbicara bahwa langit merasakan pedih di matanya karena terkena asap rokok, pabrik dan pembakaran hutan. Seketika langit menangis karena tak kuat menahan pedih yang diakibatkan asap. Semakin besar asap maka semakin besar tangisannya. Tangisan itu berbentuk hujan. Jika langit terlalu sering terkena asap maka akan terjadi banjir. Begitulah teori Teguh tentang terjadinya hujan.

"Aku tahu manfaat menulis karena aku sering menulis Bu," wajah penuh keyakinan Teguh membuat siswa lain heran termasuk Gilang yang sedari tadi melamun.

"Kamu sering menulis di buku harian, Teguh ?" Keheranan Bu Mey tak bisa disembunyikan.

"Saya menulis di tempat yang banyak orang membaca Bu guru," sekali lagi wajah penuh keyakinan Teguh mengherankan seluruh kelas.

"Kamu menulis di koran atau majalah ?" Kali ini Bu Mey bertanya dengan penuh rasa penasaran.

"Bukan, Bu guru. Menulis di majalah dan koran tidak langsung menyentuh ke masyarakat bawah. Koran dan majalah harus dibeli. Teguh nampak sepertinya nama, teguh sekali dengan pendapatnya.

"Lantas kamu menulis di mana? " kali ini suara Bu Mey lantang.

"Sederhana Bu guru. Aku menulis di dinding toilet. Menuliskan segala kesahku disana. Itulah bentuk menulis yang bermanfaat sebagai penyampai pesan. Tak jarang tulisanku di balas oleh orang lain yang merasa satu pemikiran denganku, meski ada yang berbeda pendapat pula. Pokoknya dinding toilet tempat menulis paling efektif."

Beberapa detik Bu Mey terlihat bengong melihat penjelasan Teguh yang seperti biasa diluar keumuman. Sedetik kemudian siswa lain tertawa dengan kompak termasuk Fika. Gilang menjitak kepala Teguh tanda tak setuju terhadap pendapat ngawurnya.

"Jadi kamu Teguh yang menuliskan cerita hantu di dinding toilet ?" Suara siswa lain terdengar, kemudian iringian tawa kembali muncul.

Bu Mey menjelaskan manfaat menulis yang sebenarnya. Berbeda dengan pendapaf Teguh. Tapi bukan Teguh bila tak yakin dengan buah pemikiran dirinya. Sekalipun Teguh terlihat so tahu, ia anak yang baik.

Tak terasa lonceng bel berbunyi. Puluhan siswa tampil dengan wajah ceria. Namun ada seorang siswa menunjukan wajah berbeda. Siswa itu bernama Gilang. Ia masih memikirkan kondisi Jama.

10 Kilometer dari tempat Gilang dan Teguh bersekolah. Seorang anak kecil berseragam kotor telah terpojok. Ia disekap disuatu tempat. Tiga pria berbadan besar mengelilinginya.
posted from Bloggeroid

12 comments

  1. Jama kah yang tertangkap? Duh, kasihan

    ReplyDelete
  2. Habis senyum sendiri langsung manyun liat endingnya. Kasian Jama.

    ReplyDelete
  3. Duh..bagaimana nasib jama selanjutnya yaa

    ReplyDelete
  4. Bagian selanjutnya jama harus bebas.

    Kasian, hiks..

    ReplyDelete
  5. Cerita sedrhana tapi penuh makna.

    ReplyDelete
  6. Toilet?
    Kalo saya suka smoking disitu ... heheee

    ReplyDelete
  7. makin seru, tp msh penasaran klanjutan episode Gilang yg sdh jd dokter, knp dewi tahu tentang fika..

    *gak sabaran

    ReplyDelete
  8. Ketinggalan banyak cerita aa gilang. Naro jejak dulu aja yah, lagi fakir kuota. Hiks.

    ReplyDelete
  9. Paragraf pertama masih sempat-sempatnya bikin ketawa. :D

    Aku menjitak kepala Teguh « Kenapa tiba-tiba berubah jadi POV orang pertama? o.O

    Itu pasti Jama. :(

    ReplyDelete
  10. Eh pemikiran teguh asyik juga tuh :D

    menulis di dinding toilet :D

    ReplyDelete