Menyambut Ramadhan


Rindu itu begitu menusuk-nusuk kalbuku karena hampir setahun nggak pulang, ketika di bis menuju perjalanan pulang ada sesuatu yang aneh menjalari hatiku. Menjalar pelan seiring laju bis, semakin mendekat kota tujuanku semakin kuat perasaan aneh itu mengalir. Entah, pulang selalu membawa sejuta warna bagi hatiku. Senyum ibu, wajah ayah, tergambar jelas di depanku. Rasanya kangen sekali, mungkin rasa kangen itu yang menimbulkan rasa aneh di hatiku. Aneh tapi rasanya nyaman. Karena kesibukan kuliah dan kerja membuatku menunda kepulanganku. Menunggu momen pas dan longgarnya waktuku. Dan sekarang disaat Ramadhan menjelang, sengaja aku mengambil cuti seminggu dan kebetulan kuliahku selesai ujian. Kesempatan emas tak kusia-siakan. Rasanya lama sekali tak melahap pepes ikan mas bikinan ibu, ditambah sayur asem, dan tempe goreng plus sambel terasi. Uih…nggak terasa aku menelan air liurku. Rasanya kangen ini telah membuncah…!
Tak terasa bus sudah dekat dengan terminal Tulungagung. Aku harus turun untuk berganti bus, karena bus eksekutif yang kutumpangi hanya berakhir di terminal ini. Sementara untuk menuju kampung halamanku di Kamulan, Trenggalek aku harus berganti bus. Untungnya rumahku dipinggir jalan jadi begitu turun dari bus langsung depan rumah. Ah..sebentar lagi rasa penat selama perjalanan dari Jakarta mulai kemaren sore rasanya akan segera tergantikan lunasnya rasa rindu ini.
Kemaren aku sudah menelepon ibu, pasti mereka sudah menunggu kehadiranku. Aku bangkit dari tempat dudukku untuk turun. Rumahku sudah di depan mata
“Warung pojok depan, berhenti pak!” abaku pada sopir. Sekilas kulihat ibu sedang duduk  diteras. Dengan setengah meloncat aku turun sambil menggendong ranselku dan tas plastik besar berisi oleh-oleh buat ibu dan bapak.
“Aduh, Le, akhirnya kamu sampai juga!,” setengah menjerit ibu menyambut kedatanganku. Kupeluk tubuh yang mulai renta termakan usia, namun masih terlihat sehat. Kulepaskan beban rindu yang menggelayuti jiwaku selama ini. “Ah ibu engkau memang muara cintaku.”, desah batinku. Kulihat ada air bening mengaliri pipi yang mulai keriput itu.
“Ayo masuk udah ditunggu sarapan bapakmu itu lho!” kata ibu sambil mengusap air matanya.
“Wah, Cah Nggantheng sudah datang, Ayo Le, sini makan sekalian, sudah laper dari tadi nungguin kamu.” kata Bapak. Kuraih tangan Bapak yang mulai keriput digilas masa dan kucium penuh takzim. Sosok sederhana namun kuat yang akan terus menjadi panutan hidupku.
Setelah meletakkan barang bawaanku, dan mengangsurkan tas oleh-oleh ke ibu segera kususul Bapak ke meja makan.
“Gimana kuliahmu, kapan selesai?,”tanya bapak sambil menyendok nasi dari bakul.
“Alhamdulillah, mulai semester depan sudah menyusun skripsi, do’akan lancar, Pak!, “jawabku.
“Rencana cuti berapa hari?”tanya ibu sambil membuka bungkusan pepes kegemaranku.
“Insyaallah seminggu, Bu sekalian ingin mengawali Ramadhan disini, kangen sama suasana darusan disini.”jawabku mulai memasukkan sendok demi sendok ke mulut. Hmm…tak ada yang menandingi masakan ibu di dunia ini. Nikmat tiada tara. Selesai makan kami ngobrol diruang tengah, meneruskan obrolan di ruang makan.
“Bu, nanti malam mulai tarawih ya?,” tanyaku, “siapa imam musholla sekarang?”
“Iya, untuk hari pertama nanti ya Bapakmu, setelah itu baru bergantian dengan orang-orang.” Kata ibu. Dibelakang rumah memang ada musholla kecil, wakaf dari almarhumah Mbah Yut, ibu dari almarhumah Mbah Ti. Mbah Ti adalah ibu dari ibuku. Musholla kecil itu dibangun semasa hidup Mbah Yut, dan sampai sekarang terawat dengan baik, walaupun tidak ada orang khusus yang merawatnya. Jadi dengan kesadaran orang-orang di sekitar yang ikut merawat keberadaan Musholla itu. Kalau hari biasa setiap sore digunakan Ustadz Hanafi mengajari anak-anak kecil untuk belajar Iqra’, dan setiap minggunya ada saja kegiatan pengajian ibu-ibu atau bapak-bapak di Musholla ini, selain untuk sholat berjama’ah. Jadi wajar sekali jika masyarakat sekitar ikut menjaga kelangsungan musholla karena keberadaannya dirasakan manfaatnya oleh warga sekitar.
Dulu semasa kecilku aku yang sering menabuh bedug tanda adzan akan berkumandang. Atau bahkan sekalian aku yang mengumandangkan Adzan. Dulu yang mengajari kami ngaji adalah Mbah Imam almarhum. Selesai mengaji kami diajari pencak silat, atau bercerita tentang Nabi-nabi. Dan jika Ramadhan tiba, kami menyalakan obor dan berjalan keliling desa untuk menyambut bulan yang diagungkan itu. Sambil memukul-mukul kenthongan dari bambu. Dan selesai tarawih kami sering memainkan bedug atau jidoran. Kami sering tertidur di musholla, kemudian tengah malam dibangunkan bapak atau Mbah Imam untuk sholat tahajjud. Kemudian pulang kerumah masing-masing untuk makan sahur. Sambil menunggu Subuh kami berkumpul lagi di Musholla untuk sholat berjamaah. Ah…Ramadhan di desa selalu menyisakan asa yang akan kukenang sepanjang hidupku. Sekarang sudah jarang anak-anak yang melakukan aktifitas seperti yang pernah kulakukan dulu. Televisi telah menggantikan ritual yang pernah kulakukan dulu dalam menyambut bulan Ramadhan. Kalaupun ada sudah bukan kenthongan lagi yang mengiringi mereka untuk membangunkan orang sahur, tapi ironisnya malah menggunakan lagu-lagu dangdut, atau rock. Lucu dan nggak nyambung menurutku. Ruh dalam menyambut Ramadhan dulu sangat terasa, apalagi bagi anak-anak seusia kami. Ingatnnya kurasakan hingga kini, kenikmatannya masih terasa sampai duapuluh tahun kemudian. Sehingga setiap menghadapi Ramadhan ada rasa syahdu yang selalu mengiringinya.
Seusai maghrib kulihat banyak anak-anak kecil berkumpul di Musholla, ada beberapa yang kukenal, sepertinya murid-murid TPA Ustadz Hanafi.
“Anak-anak pada ngumpul, ngapain Bu?”tanyaku.
“Ya mau pawai obor, seperti jaman kecilmu dulu.” Jawab ibu.
“Oh ya?, Jadi mereka masih melakukan kegiatan itu Bu?,” tanyaku sedikit heran.
“Iya, karena Ustadz Hanafi ingin menghidupkan lagi ruh menyambut Ramadhan itu, minimal bisa membuat anak-anak bersemangat untuk berpuasa, bisa meningkatkan ghirah mereka, yah ibu pikir bagus juga buat anak-anak, Bapakmu juga mendukung.” Jawab ibu.
Malam itu seusai sholat tarawih pertama di bulan Ramadhan, saya menyempatkan ikut tadarus di musholla, ramai juga bapak-bapak yang ikut. Tadi juga sempat berbincang dengan Ustadz Hanafi, katanya akan dibentuk remus, Remaja Musholla, karena banyak anak-anak ABG di sekitar tempat kami. Ustadz Hanafi adalah pendatang walaupun hampir tujuh tahun menetap di desaku. IA asli Pekalongan tapi mendapat tugas mengajar di desa ini. Akhirnya menikah dengan salah satu putri Mbah Imam. Usianya sekitar 35 tahun, dan dikaruniai seorang putra. Jadilah ia menetap di desa kami. Dari hasil bincang-bincang kami ia juga mengharap agar aku mau pulang ke desa, membangun desa ini. Saya tersenyum, “Saya juga ingin Mas,” jawabku. Aku memang terbiasa memanggil dia Mas, karena hubungan kami memang dekat sejak dulu. Apalagi saya adalah santri kesayangan Mbah Imam.
“Cuma kayaknya dalam waktu dekat belum ada rencana, entahlah kalau besok-besok”, jawabku. “Namun jangan khawatir, saya pasti akan bantu untuk perkembangan musholla ini”, jawabku mantap. “Setiap ada perkembangan baru yang bisa menambah keilmuan untuk anak-anak di sini saya siap bantu, jadi silahkan Mas Hanafi disini dengan anak-anak, nanti saya dukung dari jauh, misalnya buku-buku, kitab-kitab, atau yang lainnya, bahkan nanti kalau memang Remusnya jadi kita saranai dengan komputer pula Mas, saya ada PC di Jakarta yang jarang saya pakai karena sudah ada laptop, “uraiku bersemangat.
“Wah, jadi semangat nih Dik”, jawabnya  tak kalah antusias.
Walaupun tak seberapa semoga bisa jadi amalan yang bisa dicatat malaikat di pundak kanan saya, minimal bisa berbuat sesuatu bagi tanah tempat darah kelahiranku tertumpah.
Malam itu saya sulit sekali tidur, karena sesiang tadi bisa tidur nyenyak. Maklum akumulasi capek perjalanan dengan bus dari Jakarta. Di musholla juga sudah sepi. Jam setengah sebelas tadi orang-orang menghentikan tadarusnya. Kulihat jam di dinding musholla menunjukkan pukul satu dini hari. Kuambil air wudlu disamping musholla, kulaksanakan rakaat pertama sholat tahajjudku. Dengan tartil kubaca bacaan sholat, rasanya nikmat sekali, jauh dari kebisingan, jauh dari hiruk pikuk metropolitan, jauh dari kesibukan kuliah dan kerja. Hmm…kunikmati sekali shalatku malam itu. Sampai salam disholatku yang ketiga baru tersadar ada orang lain di musholla ini. Orang yang sudah tua, terlihat rambutnya yang hampir semua memutih. Memakai baju takwa warna hitam dan sarung batik. Agak jauh dari tempatku sholat.
Kulanjutkan sholatku sampai rakaat ketiga witir. Ketika aku telah selesai berdzikir, kulihat kakek itu masih khusyuk sholat. Aku melangkah keluar meregang penat. Dengan kaki masih di anak tangga kurebahkan tubuhku sekedar meluruskan punggung. Kulihat jam menunjukkan jam dua kurang tiga menit. Karena masih bengong kukeluarkan rokok putih, kunyalakan, rasanya enak saja malem-malem gini menyedot rokok, buat teman biar nggak ngantuk sambil nunggu sahur. Sebenarnya aku bukan perokok sejati, sangat jarang, bahkan dalam sebulan tak lebih dari tiga batang. Tapi kalo pas gini mau juga merokok.
“Assalaamualaikum, “tiba-tiba dari arah belakangku terdengar sapaan dengan suara agak berat.
“Wa’alaaikum salam warah matullahi wabarakaatuh,” kutoleh arah suara sapaan tadi ternyata memang kakek yang kulihat tadi. Wajahnya bersih, bahkan kulihat sinar lain yang menyejukkan terpancar dari wajahnya.
“Maaf, kakek tinggal dimana ya? Baru kali ini saya melihat kakek?, “ tanyaku hati-hati sambil kumatikan rokok, saya tidak terbiasa merokok di depan orang. Kasihan aja aku yang merokok mereka yang terkena getahnya.
“Rumah kakek nggak jauh dari sini dibelakang tegalan itu, memang sejak dulu jarang di rumah,” jawabnya.
“Nggak bisa tidur?”tanyanya, “Suka merokok ya?” sambungnya.
“Iya Kek, tadi siang kecapekan kebanyakan tidur, jadinya kancilen,” jawabku, “kalau masalah rokok ini, ndak juga kok Kek, jarang sekali kecuali menemani kalau saya lagi gak bisa tidur begini, lagian bisa membuat saya betah bangun malam buat shalat tahajjud” lanjutku.
“He..he…kalau masih butuh alat untuk mencintaiNya rasanya itu bukan cinta sesungguhnya ya Le?” katanya datar saja. “Dulu ada seorang putra Kyai yang hanya bisa majdub ketika dia mendengarkan musik yang keras….Dia beralasan, musik ini yang menghantarkan saya padaNya , jawabnya ketika suatu saat ditanya sama Abahnya. Sang Abah yang telah banyak makan asam garam kehidupan itu dengan arif berkata pada anaknya, “Memang tak ada salahnya menggunakan sarana untuk mencapai cintaNya, seperti bayi yang perlu merangkak untuk dapat berjalan, tapi ketika dia sudah mampu berjalan apakah masih akan terus merangkak? Jadi ketika seorang salik telah mencapai taraf cintaNya bila dia masih perlu alat atau sarana untuk mencapaiNya maka cinta itu perlu dipertanyakan karena semestinya Ia ada dimanapun dan kapanpun tanpa harus melalui sarana, terang Abahnya . Dan sejak saat itu kesadaran baru muncul pada anak sang Kyai itu, sehingga ia tinggalkan musik yang ingar bingar itu. Tanpa semua itu Ia memang selalu ada.” Urai Sang Kakek panjang lebar.
Datar sekali bicaranya, namun sungguh menohok ulu hati saya. Saya pikir selama ini gaya merokok saya biasa saja, dan kadang-kadang membantu saya untuk betah melek di malam hari.Tapi hari ini ada seorang Kakek menyentuh sisi kesadaran saya yang lain. Semakin tenggelam saya bicara dengan Kakek ini. Aku hanya bisa manggut-manggut, dan membenarkan pendapatnya.
“Nggak terasa Ramadhan sudah datang lagi ya?, bulan yang sangat dirindukan oleh semua umat. Seandainya mereka tahu kemuliaan bulan ini mereka tak akan terjaga sedetik pun”, katanya sambil matanya menerawang ke depan.
“Menurut kakek apa kemuliaan yang istimewa dari bulan ini kek?” tanyaku.
“Bagi yang mata hatinya terbuka, bagi yang terbuka hijabnya dengan sang penguasa Jagad Raya, setiap desahan nafasnya adalah rezeki tak terkira di bulan ini. Semua pintu rahmatNya dibuka, semua pintu hidayahNya terbuka, semua pintu ampunanNya terbuka, tinggal manusianya, apakah mereka mampu menerima kemuliaan yang luar biasa ini?” urainya, “Tapi kadang puasa ini hanya sebagai penahan lapar dan dahaga saja, tak lebih, hanya sebagai penggugur kewajiban atas bulan ini, sehingga derajat yang kita capai pun tak akan pernah naik dari itu.”desahnya.
Akupun ikut terdiam, sehingga hening sejenak waktu. Malam semakin merambat pagi, suara jengkerik menimbulkan simphoni tersendiri dimalam pertama bulan Ramadhan ini. Dan desau angin malam semakin menambah dingin suasana.
“Puasa tapi masih korupsi, puasa tapi masih mengumbar amarah, puasa tapi masih menyakiti hati orang lain, puasa tapi masih lahap saja ketika berbuka di depan anak-anak peminta-minta. Pertanyaannya kenapa masih seperti itu saja? Padahal puasa kita telah berpuluh-puluh tahun. Kenapa tak ada jejak kenikmatan kita dalam berpuasa. Bahkan tak berbekas. Selesai puasa kita kembali pada rutinitas kemaksiatan kita?Astaghfirullah… .”desahnya, kudengar suaranya sedikit serak.
“Puasa kita masih sekedar puasa fisik, belum menyentuh hati kita, belum menyentuh hakikatnya, apalagi menyentuh cinta kita” lirih suaranya.
Aku semakin tertunduk…seolah terkena daya magis yang sangat kuat. Menyeretku ke sebuah lorong sunyi dan gelap…Kepekatan malam ini seolah ikut memberi nuansa magis dalam dialog-dialog yang terucap dari mulut kakek ini.
“Kita masih sanggup menelantarkan anak-anak yatim walaupun puasa kita telah berbilang tahun, kita masih sanggup melahap nikmatnya buka puasa walaupun didepan kita terlihat orang-orang yang hidup dijalanan dan menadahkan tangan seolah itu hal yang wajar-wajar saja. Dengan sedikit receh serasa habis perkara. Bahkan mungkin berhari-hari mereka tak menemukan makanan sekadar untuk mengganjal perutnya, rasanya mereka lebih mampu menghayati arti puasa dibanding kita yang hanya menahan lapar dari pagi sampai petang, dan begitu bedug Adzan bertalu segera  dapat melahap kenyang buka puasa kita. Bisa jadi mereka telah berpuasa sepanjang masa, karena kemiskinannya.
“Ah kok jadi saya yang banyak ngomong!” kata kakek itu.
“Nggak pa pa Kek, itu malah lebih baik buat saya, buat bekal saya lebih menghayati puasa” kataku sambil sedikit tersentak ke kesadaran semula setelah merasa melayang.
Entah kenapa berdekat-dekat dengan kakek ini seperti ada sesuatu rasa yang sulit kugambarkan.
Tiba-tiba pintu belakang rumahku terbuka, ternyata Bapak sudah bangun dan mau sholat malam. Memang pintu samping dapurku berhubungan langsung dengan teras samping Musholla ini.
“Nak, saya pamit dulu, Insyaallah besok ketemu lagi, Assalaamualaikum…“ tiba-tiba Kakek itu beranjak dari duduknya dan segera berlalu.
“Waalaaikum salam warahmatullah wabarakaatuh, “ jawabku.
“Le, siap-siap sahur, itu Ibumu sudah siapkan,” kalimat Bapak sedikit mengagetkan saya. Konsentrasiku sedikit buyar sehingga tak kulihat Kakek tadi keluar.
“Iya Pak saya sudah selesai sholat kok, sebentar lagi saya masuk.”jawabku. Segera aku bangkit dan masuk rumah untuk ikut membantu ibu menyiapkan sahur.
Malam kedua Ramadhan seperti kemaren seusai tadarusan saya hanya mampu memejam mata sejenak, Kulihat jam dinding di kamar 00.30 WIB. Kubuka pintu dapur untuk mengambil air wudlu di samping musholla. Hhhhmhhh…dingin menusuk sampai ke tulang rasanya, namun terasa segar, sehingga mata yang agak sepet bisa melek dengan sempurna. Kumulai takbirku dengan sepenuh rasa dan kepasrahan total. Sampai pada bacaan Inna sholati wa nusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil ‘alaamin kurilekskan seluruh tubuhku, dan kucoba kuhayati kata-demi kata bacaan sholatku, sungguh indah…sungguh nikmat…ringan sekali rasanya tubuh ini. Kuselesaikan sholatku sampai salam di rakaat ketiga Sholat Witirku. Kuteruskan dengan dzikir dengan tartil..perlahan dan penuh penghayatan. Kulibatkan rasa di segenap jiwaku. Kunikmati…setiap desahan nafasku yang kuberati dengan kalimah-kalimah dzikir. Sunyi yang terasa nikmat…disepertiga malam yang merangkak pagi. Kurasakan tubuhku semakin ringan…ringan… bahkan serasa melayang…kubuka pelan mataku karena aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhku. Subhanallah…tubuhku benar-benar melayang..!LAlu siapa yang sedang tertunduk di pojok musholla itu? Itu seperti bajuku, itu…itu tubuhku…Subhanallah. .Apa yang sebenarnya sedang terjadi pada jasadku? Kesadaranku terjaga penuh, tapi kenapa dengan diriku?!?… Seribu tanya bergelayut di benakku. Untuk beberapa saat saya terbuai oleh sebuah kenikmatan yang tak tergambarkan. Ekstase itu kurasakan hingga sebuah suara sedikit berat namun penuh perbawa memberi salam, sehingga diriku yang melayang perlahan turun menyatu lagi dengan jasadku yang masih terduduk di pojok musholla.
“ Assalaamualaikum ya Akhi?, suara itu kukenal betul, yah suara kakek yang tadi malam.
“Waalaaikum salam warahmatullahi wabarakatuh!” Kujawab salamnya dengan masih terengah setelah pengalaman ruhani yang luar biasa kualami barusan.
“ Apa yang tengah kau alami, Anakku sehingga wajahmu pucat dan berkeringat di tengah malam yang dingin menusuk seperti ini?” tanyanya. Seolah ia tahu sedang terjadi sesuatu dalam diriku. Tiba-tiba aku hanya mampu tertunduk dan tergugu dalam tangis.
“ Bagi seorang salik yang mendamba cintaNya memang tak perlu sarana untuk meraihnya, baginya cukuplah Allah saja. Kalaupun dengan munajah dan dzikirnya Allah berikan karunia-karunia dalam keghaiban, itu bukanlah tujuan utamanya. Salik tak akan terusik sedikitpun oleh ‘gangguan-gangguan’ berupa kenikmatan sesaat. Karena yang ditujunya hanya Allah semata. Ridho Allah adalah rezeki tak terkira. Karena yang meneranginya mata batinnya hanyalah cahayaNya.” Seperti telah tahu apa yang sedang terjadi padaku Kakek itu berbicara seperti itu.
“Maka jika dalam pencarianmu engkau bertemu dengan hal-hal ghaib…anggaplah itu karunianya seperti kata ulama besar Ibn Athaillah As Sakandary dalam Kitab Al Hikamnya yang masyhur itu,
“Jika Allah membukakan pintu makrifat bagimu, janganlah hiraukan mengapa itu terjadi sementara amalmu amat sedikit. Allah membukakannya bagimu hanyalah karena Dia ingin memperkenalkan diri kepadamu. Tidakkah engkau mengerti bahwa makrifat itu adalah anugerahNya kepadamu, sedangkan amal adalah pemberianmu? Maka betapa besar perbedaan antara persembahanmu kepada Allah dan karuniaNya kepadamu!”
“Dan teruslah berdzikir menghadapkan segenap jiwamu padaNya.” Kakek itu meneruskan kalimatnya.
Dia menguraikan itu dengan memeluk tubuhku yang semakin tergugu dalam tangis, bahkan tubuhku terguncang.
“Istighfar Anakku, lepaskanlah perlahan-lahan… atur nafasmu…rilekskan tubuhmu, tenangkan dirimu dan jangan berhenti dzikir di hatimu.”perintahnya terdengar pelan ditelingaku namun tegas. Setelah aku mulai agak tenang Kakek itu melepaskan pelukannya.
“Sudah waktu sahur, segera sahur Nak, jangan lewatkan barakah malaikat pada orang-orang yang menyempurnakan puasanya dengan sahur” katanya. Aku mengangguk dan segera bangkit untuk membasuh wajahku dengan air wudlu. Segar sekali…Ketika aku kembali untuk mengajak Kakek itu untuk bersahur di rumahku ia sudah tak ada di tempatnya. Aku dibuat penasaran dengan Kakek satu ini, bahkan aku belum tahu namanya. Semoga besok beliau hadir lagi disini sehingga aku bisa tanyakan siapa dia.
Malam ketiga Ramadhan, seperti telah terprogram aku terbangun pukul 00.30 WIB walaupun tak ada weker yang membangunkanku. Aku hanya mengharap Ia akan menyentuhku di sepertiga malam, karena aku meyakini bukan aku yang bisa bangun tapi karena Ia yang maha berkehendak membangunkanku.
Seperti biasa kumulai tahajjudku malam itu dengan takbir yang kubangun bersama kekhusyu’an. Kuhadirkan segenap jiwa untuk menerjemahkan bacaan tartil sholatku. Kunikmati…dengan segenap khusyu’ dalam keheningan.Kupasrah kan segala rasa ini kehadhiratMu, semoga Engkau ridho. Antara sadar dan tidak aku mendengar suara orang banyak berdzikir. Sehingga terdengar suara mendengung. Kupikir karena pantulan keheningan malam yang membias di telingaku sehingga terdengar seperti jamaah dzikir. Kuteruskan sholatku tanpa meninggalkan kekhusyu’an dalam penghayatan. Justru suara dengungan itu semakin jelas. Tak kuhiraukan…kuselesai kan rakaat ketiga witirku. Kulanjutkan dengan dzikir, suara dengungan itu semakin jelas bahkan mengiringi dzikirku. Aku sedikit bergidik, kucoba menutup telingaku dengan kedua tanganku, justru suara itu lebih jernih…Lailahaillall ah… Lailahaillallah… . Lailahaillallah… Lailahaillallah terus semakin jelas bahkan serasa didepanku. Aku teringat pesan Kakek kemaren, “Teruslah berdzikir jangan hentikan dzikirmu….Ditengah suara dengungan yang sudah tak lagi sekedar dengung namun jelas-jelas sebuah jamaah dzikir, tiba-tiba aku merasa dalam sebuah lorong tak gelap namun juga tak begitu terang, entah tak sanggup aku menggambarkan keadaanku saat itu…dengan suara dzikir yang semakin membahana di telingaku bagaikan kudengar dari sebuah konser live sebuah pertunjukkan. Indah…tak terkira…kurasakan tubuh yang semakin ringan dan melesat dalam lorong yang menakjubkan tadi. Suasana indah …syahdu…nikmat yang tak mampu kugambarkan…. Subhanallah… .Rasanya aku tak ingin kembali. Tiba-tiba ada sebuah suara yang kudengar dari hatiku, “Janganlah berhenti sampai disini, karena ketika Rasulullah selesai berIsra’Mi’raj beliau kembali pada umatnya untuk menyampaikan kabar gembira itu, untuk meyampaikan risalah agung itu.” Aku kenal suara yang kudengar itu, suara Kakek tua itu! “Dan sesungguhnya keinginanmu untuk tidak kembali adalah bagian dari nafsu!, Tugasmu belum selesai Nak, segeralah kembali!” Tiba-tiba kulihat jamaah yang tadi berdzikir adalah anak-anak yang sebagian besar kutahu mereka anak-anak TPA asuhan Ustadz Hanafi. Mereka memandangku dengan tatapan penuh harap dan cinta. Tiba-tiba ingin kupeluk semua, ingin kurengkuh semua…rasa iba berbaur dengan sayang dan cinta seolah membuncah membuat satu energi tersendiri buatku saat itu. Yah memang tugasku belum selesai. Perlahan suara dzikir itu menjauh, kemudian hilang sama sekali bersamaan dengan kembalinya diriku pada kesadaran sepenuhnya. Kembali ke dunia nyata. Kudapati diriku sangat letih dan menggigil dengan peluh yang membasahi tubuhku. Kuedarkan pandangan untuk mencari Kakek yang tadi seolah sedang berbicara denganku.Kosong… tak ada orang…!Kulihat jam dinding 01.40 WIB. Agak lama aku termenung sambil mengatur nafasku, aku mulai rebahan, sambil memandang langit-langit musholla, sambil mencerna kejadian yang barusan kulewati. Kutunggu Kakek itu untuk beberapa saat, sampai Bapak memanggilku dari dalam rumah. Akhirnya kuputuskan masuk rumah karena dingin semakin menyergap tubuhku yang telah basah oleh keringat dingin.
“Bu, kira-kira ibu kenal nggak dengan Kakek yang dua malam ini sholat tahajjud di musholla belakang?”tanyaku.
“Kakek siapa?”tanya Bapak dan Ibu hampir barengan.
“Masak Bapak nggak pernah lihat? Kemaren saat Bapak sholat di musholla beliau ada, Pak?” terangku.
“Rambutnya sudah hampir memutih semua, kira-kira seusia Mbah Imam sebelum meninggal, hanya badannya agak tinggi dan kurus. Tapi wajahnya masih kelihatan segar, dua hari ini bahkan kami mengobrol di musholla?”lanjutku.
Kulihat kedua orangtuaku berpandangan sejenak sambil mengernyitkan kening, “Justru itu yang ingin kami tanyakan pada kamu, beberapa hari ini kamu seperti bercakap-cakap dengan orang tapi ketika bapak lihat nggak ada siapa-siapa.”
“Hmmmhhh…siapa sebenarnya ya?” kata Bapak dengan heran.
“Katanya rumahnya ada di belakang tegal Bu?” aku masih sedikit ngotot.
“ Kamu lupa to Le, kalau dibelakang tegal kita cuma ada sungai, ada dua rumah yang satu rumah mak Isah, yang satunya rumah Kang Roni yang biasa kita mintai tolong ngambil buah kelapa itu.” terang Ibu.
“Kalau mereka aku kenal Bu!”, jawabku.
Siapa Kakek itu? Kenapa dia datang tepat disaat saya sedang mengalami perjalanan ruhani itu. Ia seolah diutus untuk mengiringi perjalanan saya. Khidirkah dia? Entahlah yang jelas saya akan selalu merindukan bimbinganmu, Kakek.
PacarKembang, akhir Sya’ban 1427H
Marhaban Yaa Ramadhan…
Yang hanya ingin bisa merasa di bulan Ramadhan ini
Bi barakatillah
Mohon maaf segala khilaf, Mohon maaf lahir batin
semoga kita masuki gerbang Ramadhan dengan segenap kebeningan jiwa.

Post a Comment