Jika Allah yang Meminta

15 tahun yang lalu, saat itu aku masih berumur 9 tahun. Peristiwa tersebut sulit kulupa bahkan nyaris selalu teringat, ketika aku merindu mereka. Hanya doa yang bisa kupanjatkan semoga kita dapat bertemu dalam ridhanya Allah.

Namaku Hengki, kala itu bersama adikku Farel sedang bersiap-siap untuk mengaji. Ingin rasanya sesekali membolos mengaji karena seharian itu aku capek. Sempat ku utarakan niat untuk izin mengaji dengan alasan banyak PR sekolah. Tentu saja bapak marah, beliau berbicara dengan kalimat yang sulit kumengerti saat itu.

"Kita ini orang kampung, orang miskin pula. Bapak tidak malu, ketika orang-orang berkata keluarga kita miskin, tapi bapak sangat malu ketika kita dinilai Allah, kita miskin ilmu agama."

Aku hanya diam tak mengerti, saat terdiam ibu menghampiri dan menyuruh aku bersama adik siap-siap mengaji. Urusan PR sekolah ibu bersiap membantu.

Entah apa yang membuatku berat sekali meninggalkan rumah menuju masjid tempatku mengaji. Bukan karena jaraknya yang jauh, aku sudah terbiasa berjalan jauh. Rasanya ada rasa pilu hadir saat itu.

Aku menatap ibu dan bapak lamat-lamat, mereka sungguh orangtua terbaik di dunia. Mereka memang tak memberikan harta tapi ilmu kehidupan yang kelak akan membawa diri ini berpergian jauh.

"Farel, cepat." Menyuruh adikku cepat berlari, ada suara gemuruh seperti tanah longsor. Saat itu baru 30 menit sampai di masjid, tempatku mengaji.

"Fareeeel," bentakku keras. Ia saat itu baru berumur 6 tahun.

Bergegas kumenuju rumah, merasa sesuatu yang buruk terjadi. Benar saja, kampungku rata dengan tanah. Satu jam kuberkeliling mencari ibu dan bapak tapi nihil, mereka tidak ada.

Di akhir pencarian, aku melihat ibu tergeletak dihimpit tanah dan bebatuan. Aku bergegas menghampirinya, tapi seseorang dengan rompi kuning menangkapku.

"Minggir, Nak masih rawan longsor." Tubuhku ditangkap oleh orang itu, aku berontak sekuat tenaga namun sulit untuk lepas.

5 menit kemudian, longsoran tanah mengantam ibuku yang dihimpit batu. kala itu adalah senyum terakhirnya.


Saat itu aku sudah tak bisa menangis, rasanya akhir mataku habis. Begitu pula dengan Farel yang tak bisa bicara sepatah katapun.

Malam itu kejadian paling menyedihkan yang pernah diri ini alami.
Keesokan harinya aku mendengar kabar ibu dan bapak sudah tiada. Bergegas mengajak adikku melihat wajah terakhir pelindung kami di dunia.

Tetap masih tak bisa menangis, terlalu sakit untuk kehilangan mereka. Beberapa menit aku berada disamping kedua jasad ibu dan bapak. Sebelum ada pasangan suami istri menghampiri kami. Mereka dihormati seluruh warga kampungku yang selamat. Saat itu tidak peduli, yang aku mau hanya ibu dan bapak.

15 tahun telah berlalu, sekarang aku melanjutkan S2 di Inggris, sementara adikku mengejar gelar sarjananya di Italia.

Mengenang peristiwa itu memang menyakitkan namun kesakitanlah yang menguatkanku selama ini.

Pasangan suami istri yang menyelamatkanku kala itu menelpon. Sejak peristiwa itu mereka mengangkat kami berdua sebagai anaknya. Mereka tak kalah baik dengan Ibu dan bapak kandungku.

Ibu dan bapak angkatku melakukan video call, mengabari bahwa seminggu lagi adalah pelantikan bapak angkatku sebagai Presiden Indonesia untuk kedua kalinya. Beliau menyuruhku untuk bergegas pulang.

Betul yang menjadikan kami anak angkat 15 tahun yang lalu adalah Gubernur Jawa Barat saat itu.


"Ibu, Bapak. Benar yang kalian kataku dulu. Jangan pernah menyalahkan Allah atas semua kesedihan yang kita terima. Pada dasarnya segala hal milik Allah, Ia berhak mengambil kapan saja sesuatu yang menjadi miliknya. Kita harus yakin bahwa Allah akan menggantikan yang Ia ambil dengan sesuatu yang luarbiasa."

Catatan : Cerpen ini terinspirasi dari kisah Hengki dan Farel yang kehilangan kedua orangtuanya karena longsor yang terjadi di Sukabumi. Sekarang mereka menjadi anak angkat Kang Emil.

Sumber foto diambil dari Instagram @RidwanKamil dan Detik.com

5 comments