"Mah, kayanya aku nggak bakal lulus UN," Aku datang ke rumah dengan wajah muram.
Mamah tentu saja kaget dengan pernyataan anaknya yang tetiba berucap begitu. Mamah mendekat lalu memelukku.
"InsyaAllah lulus, tenang mamah selalu doakan," wajah teduhnya perlahan meredakan kecemasanku.
Aku bercerita tentang lembar LJK yang sobek di menit terakhir ujian, tak ada waktu untuk mengganti. Akhirnya LJK sobek yang disebabkan karena menghapus terlalu kasar, aku kumpulkan. Saat itu pesimis dengan hasil ujian nasional, Di kala itu ujian nasional masih sebagai penentu kelulusan.
Wajar saja mental anak SMA terpukul jika yang dibayangkan adalah sindirian, ledekan bahkan hinaan karena tak lulus UN.
"Mamah tahu aku yang kamu khawatirkan. Tenang saja, walau semua orang mencela, mamah akan selalu ada untukmu Nak," Lagi-lagi senyuman itu laksana oase, penghilang segala dahaga.
Aku tipe orang yang selalu berlebihan mengkhawatirkan sesuatu meski sebenarnya belum tentu terjadi, buktinya mampu lulus ujian nasional.
Kejadian itu sudah beberapa tahun terjadi dan kini seolah terulang lagi. Sebulan yang lalu seminggu penuh mengerjakan skripsi, jatah tidur hanya beberapa jam. Walhasil kondisi tubuh menurun drastis. Ketika bimbingan, merasakan sensasi meriang di seluruh tubuh. Dosen pembimbing pun sampai khawatir melihat wajahku yang membiru. Beliau menyuruh pulang dengan menghadiakan Acc untuk beberapa bab yang telah kukerjakan. Ini seperti kebahagiaan di balik musibah.
Perjalanan pulang sungguh menangtang perlu perjuangan ekstra untuk menyeimbangkan diri agar tidak terjatuh saat mengendarai motor, karena bila terjatuh aku tak bisa bangkit lagi, aku tenggelam dalam lautan luka dalam (eh malah nyanyi) bermodalkan tenaga yang tersisa aku pacu kuda besi sekuat tenaga, alhamdulilah bisa sampai rumah.
Di rumah mamah menyambut dengan raut wajah khawatir, melihat mukaku yang membiru. Mamah bergegas mengambil air teh hangat dan makanan. Setelah menyantap itu semua aku tidur. Tepat di tengah malam, kondisi badan kembali meriang. Laksana anak kecil, hanya bisa berteriak-teriak. Mamah bergegas bangun lalu mengopres kepalaku. Mamah yang saat itu juga sakit, memijitku hingga terlelap.
Saat subuh diri ini terbangun lebih dahulu dari pada mamah, beliau tetap berada di sampingku. Kebetulan tangan mamah mengenai kaki, saat itu aku rasakan sensasi panas ditangannya. Ah ternyata sakit mamah lebih parah.
Dari balita hingga sudah dewasa, kasih sayang mamah tak pernah berkurang bahkan terus bertambah tiap harinya.
Mamah tentu saja kaget dengan pernyataan anaknya yang tetiba berucap begitu. Mamah mendekat lalu memelukku.
"InsyaAllah lulus, tenang mamah selalu doakan," wajah teduhnya perlahan meredakan kecemasanku.
Aku bercerita tentang lembar LJK yang sobek di menit terakhir ujian, tak ada waktu untuk mengganti. Akhirnya LJK sobek yang disebabkan karena menghapus terlalu kasar, aku kumpulkan. Saat itu pesimis dengan hasil ujian nasional, Di kala itu ujian nasional masih sebagai penentu kelulusan.
Wajar saja mental anak SMA terpukul jika yang dibayangkan adalah sindirian, ledekan bahkan hinaan karena tak lulus UN.
"Mamah tahu aku yang kamu khawatirkan. Tenang saja, walau semua orang mencela, mamah akan selalu ada untukmu Nak," Lagi-lagi senyuman itu laksana oase, penghilang segala dahaga.
Aku tipe orang yang selalu berlebihan mengkhawatirkan sesuatu meski sebenarnya belum tentu terjadi, buktinya mampu lulus ujian nasional.
Kejadian itu sudah beberapa tahun terjadi dan kini seolah terulang lagi. Sebulan yang lalu seminggu penuh mengerjakan skripsi, jatah tidur hanya beberapa jam. Walhasil kondisi tubuh menurun drastis. Ketika bimbingan, merasakan sensasi meriang di seluruh tubuh. Dosen pembimbing pun sampai khawatir melihat wajahku yang membiru. Beliau menyuruh pulang dengan menghadiakan Acc untuk beberapa bab yang telah kukerjakan. Ini seperti kebahagiaan di balik musibah.
Perjalanan pulang sungguh menangtang perlu perjuangan ekstra untuk menyeimbangkan diri agar tidak terjatuh saat mengendarai motor, karena bila terjatuh aku tak bisa bangkit lagi, aku tenggelam dalam lautan luka dalam (eh malah nyanyi) bermodalkan tenaga yang tersisa aku pacu kuda besi sekuat tenaga, alhamdulilah bisa sampai rumah.
Di rumah mamah menyambut dengan raut wajah khawatir, melihat mukaku yang membiru. Mamah bergegas mengambil air teh hangat dan makanan. Setelah menyantap itu semua aku tidur. Tepat di tengah malam, kondisi badan kembali meriang. Laksana anak kecil, hanya bisa berteriak-teriak. Mamah bergegas bangun lalu mengopres kepalaku. Mamah yang saat itu juga sakit, memijitku hingga terlelap.
Saat subuh diri ini terbangun lebih dahulu dari pada mamah, beliau tetap berada di sampingku. Kebetulan tangan mamah mengenai kaki, saat itu aku rasakan sensasi panas ditangannya. Ah ternyata sakit mamah lebih parah.
Dari balita hingga sudah dewasa, kasih sayang mamah tak pernah berkurang bahkan terus bertambah tiap harinya.
Maman selalu ada untuk kita
ReplyDeleteDan aku sudah mamah mamah
MasyaAllah kasih sayang seorang Ibu emg warbisyah😇
ReplyDeleteGantian Aa yang rawat mamah.
ReplyDelete