Entah mengapa aku tidak dikaruniai kemampuan yang hebat dalam hal berhitung. Sejak SD matematika menjadi masalah utama dalam belajar. Berlanjut hingga SMP namun mencapai puncak saat SMA. Masa putih abu memang menyisakan kenangan paling berkesan tapi sedikit meninggalkan trauma ketika berurusan dengan pelajaran matematika.
Ketika SMA, aku mengambil jurusan IPA yang sarat dengan hitungan nol koma. Sebenarnya masuk jurusan IPA karena desakan dari guru-guru bukan keinginan pribadi. Sebagai siswa penurut, baik hati dan rajin menabung di rumah makan Padang akhirnya aku menurut saja. Tak mau durhaka kemudian dikutuk menjadi setampan Afgan. Eh kalau dikutuk tampan seperti Afgan aku mau.
Bagiku masuk jurusan IPA memiliki kengerian tersendiri seperti masuk hutan belantara yang dipenuhi binatang buas. Satu kata yang tersirat, menakutkan. Setelah dijalani ternyata tak semenakutkan seperti yang dikira. Sekalipun matematika tetap menyiksa raga. Beberapa kali aku terpaksa harus mengulang pelajaran. Meminta guru untuk menjelaskan kembali. Beberapa teman sempat protes. Ketika mengulang materi yang sudah mereka pahami. Beberapa dari mereka berkata sinis.
"Lang, materi sederhana gitu aja kamu ngga ngerti. Otak kamu banyak virusnya kali.
Ingin rasakan menyumbat mulut mereka namun apadaya memang benar adanya perkataan mereka. Satu hal yang salah. Otakku bebas virus setidaknya belum mengenal virus cinta. Cacian dari teman sekelas membuatku semakin terpacu. Seharian berkutat dengan soal berisikan angka-angka. Sempat ingin muntah saking pusingnya. Aku mencoba belajar ekstra untuk mempersiapan ulangan harian. Ternyata setelah belajar ekstra nilaiku mengalami perubahan. Angka 50 menghiasi kertas selembar kepunyaanku. Kenaikan yang lumayan karena biasanya aku hanya mendapatkan nilai telur yang tak pernah pecah.
Tuhan mendesain makhluknya dengan ribuan kelebihan. Tak mengapa aku paling lemah di matematika tapi dalam pelajaran biologi bolehlah merasa berbangga diri. Membaca buku pelajaran biologi ibarat membaca komik bagiku. Menghadirkan keasyikan tersendiri. Otomatis dalam pelajaran itu nilaiku selalu sempurna. Bahkan sempat menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti olimpiade biologi tingkat kabupaten. Bagi sebagian orang hal itu terkesan biasa saja. Bagiku berbeda menjadi perwakilan olimpiade sekolah memupuk rasa percaya diri. Memperbaiki citraku di mata guru. Entah kenapa aku terkenal dengan julukan raja remedial matematika. Dengan keikut sertaan sebagai peserta dalam ajang olimpiade sedikit mengubah citra raja remedial.
Layaknya seorang pria yang sedang menyukai gadis kece. Aku tak henti bercengkrama dengan materi biologi. Bab favoritku tentang reproduksi. Entah mengapa tetiba sangat senang bab itu. Serasa sedang memahami kekuasaan Tuhan. Setetes sperma mampu tumbuh menjadi manusia. Sungguh keajaiban luarbiasa.
Terngiang sekali pesan Bu Siti (Guru biologi) saat menerangkan bab reproduksi.
"Apakah kalian tahu anak-anak. Sesungguhnya setiap manusia adalah pemenang dari sebuah kompetisi maha dashyat."
Seketika aku mengacungkan jari pertanda ingin mengajukan pertanyaan.
"Juara bagaimana Bu ? Lomba balap karung aja aku kalah," Ujarku memecah keheningan kelas.
"Gilang. Hanya orang terpilih yang bisa lahir ke dunia. Dalam rahim 100 - 700 juta sperma berlomba membuahi sang telur. Mereka saling sikut, saling makan serta harus melawan prajurit anti bodi yang kuat untuk bisa membuahi sang telur. Dari 700 juta sperma hanya tersisa satu yang berhak menjadi bakal manusia. Perjuangan belum selesai. Ia harus berkembang hingga 9 bulan untuk utuh menjadi manusia. Bukankah kalian adalah pemenang yang mampu mengalahkan 700 juta sperma lainnya."
"Ternyata aku hebat sekali Bu . mampu menjadi juara dari 700 juta peserta lainnya."
"Benar sekali pernyataan Gilang. Kalian jangan pernah merasa rendah diri atau bahkan putus asa. Sejatinya yang lahir kedunia adalah pemenang. Hanya saja terkadang kita meremehkan diri sendiri. Berkata tidak bisa sebelum mencoba."
Tamparan ekstra keras menghujam telak. Sering kali saat pelajaran matematika aku menyerah sebelum berusaha. Kata tidak bisa menjejali kepala. Memang benar manusia terlahir sebagai pemenang maka pantang mati sebagai pecundang. Selagi bisa kita berusaha Mengubah ketidakmampuan menjadi celah untuk melakukan perbaikan.
Ketika SMA, aku mengambil jurusan IPA yang sarat dengan hitungan nol koma. Sebenarnya masuk jurusan IPA karena desakan dari guru-guru bukan keinginan pribadi. Sebagai siswa penurut, baik hati dan rajin menabung di rumah makan Padang akhirnya aku menurut saja. Tak mau durhaka kemudian dikutuk menjadi setampan Afgan. Eh kalau dikutuk tampan seperti Afgan aku mau.
Bagiku masuk jurusan IPA memiliki kengerian tersendiri seperti masuk hutan belantara yang dipenuhi binatang buas. Satu kata yang tersirat, menakutkan. Setelah dijalani ternyata tak semenakutkan seperti yang dikira. Sekalipun matematika tetap menyiksa raga. Beberapa kali aku terpaksa harus mengulang pelajaran. Meminta guru untuk menjelaskan kembali. Beberapa teman sempat protes. Ketika mengulang materi yang sudah mereka pahami. Beberapa dari mereka berkata sinis.
"Lang, materi sederhana gitu aja kamu ngga ngerti. Otak kamu banyak virusnya kali.
Ingin rasakan menyumbat mulut mereka namun apadaya memang benar adanya perkataan mereka. Satu hal yang salah. Otakku bebas virus setidaknya belum mengenal virus cinta. Cacian dari teman sekelas membuatku semakin terpacu. Seharian berkutat dengan soal berisikan angka-angka. Sempat ingin muntah saking pusingnya. Aku mencoba belajar ekstra untuk mempersiapan ulangan harian. Ternyata setelah belajar ekstra nilaiku mengalami perubahan. Angka 50 menghiasi kertas selembar kepunyaanku. Kenaikan yang lumayan karena biasanya aku hanya mendapatkan nilai telur yang tak pernah pecah.
Tuhan mendesain makhluknya dengan ribuan kelebihan. Tak mengapa aku paling lemah di matematika tapi dalam pelajaran biologi bolehlah merasa berbangga diri. Membaca buku pelajaran biologi ibarat membaca komik bagiku. Menghadirkan keasyikan tersendiri. Otomatis dalam pelajaran itu nilaiku selalu sempurna. Bahkan sempat menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti olimpiade biologi tingkat kabupaten. Bagi sebagian orang hal itu terkesan biasa saja. Bagiku berbeda menjadi perwakilan olimpiade sekolah memupuk rasa percaya diri. Memperbaiki citraku di mata guru. Entah kenapa aku terkenal dengan julukan raja remedial matematika. Dengan keikut sertaan sebagai peserta dalam ajang olimpiade sedikit mengubah citra raja remedial.
Layaknya seorang pria yang sedang menyukai gadis kece. Aku tak henti bercengkrama dengan materi biologi. Bab favoritku tentang reproduksi. Entah mengapa tetiba sangat senang bab itu. Serasa sedang memahami kekuasaan Tuhan. Setetes sperma mampu tumbuh menjadi manusia. Sungguh keajaiban luarbiasa.
Terngiang sekali pesan Bu Siti (Guru biologi) saat menerangkan bab reproduksi.
"Apakah kalian tahu anak-anak. Sesungguhnya setiap manusia adalah pemenang dari sebuah kompetisi maha dashyat."
Seketika aku mengacungkan jari pertanda ingin mengajukan pertanyaan.
"Juara bagaimana Bu ? Lomba balap karung aja aku kalah," Ujarku memecah keheningan kelas.
"Gilang. Hanya orang terpilih yang bisa lahir ke dunia. Dalam rahim 100 - 700 juta sperma berlomba membuahi sang telur. Mereka saling sikut, saling makan serta harus melawan prajurit anti bodi yang kuat untuk bisa membuahi sang telur. Dari 700 juta sperma hanya tersisa satu yang berhak menjadi bakal manusia. Perjuangan belum selesai. Ia harus berkembang hingga 9 bulan untuk utuh menjadi manusia. Bukankah kalian adalah pemenang yang mampu mengalahkan 700 juta sperma lainnya."
"Ternyata aku hebat sekali Bu . mampu menjadi juara dari 700 juta peserta lainnya."
"Benar sekali pernyataan Gilang. Kalian jangan pernah merasa rendah diri atau bahkan putus asa. Sejatinya yang lahir kedunia adalah pemenang. Hanya saja terkadang kita meremehkan diri sendiri. Berkata tidak bisa sebelum mencoba."
Tamparan ekstra keras menghujam telak. Sering kali saat pelajaran matematika aku menyerah sebelum berusaha. Kata tidak bisa menjejali kepala. Memang benar manusia terlahir sebagai pemenang maka pantang mati sebagai pecundang. Selagi bisa kita berusaha Mengubah ketidakmampuan menjadi celah untuk melakukan perbaikan.
posted from Bloggeroid
Pantang mati Sebagai pecundang.
ReplyDeleteWaaaa..semangat sekalii..
Pantang mati Sebagai pecundang.
ReplyDeleteWaaaa..semangat sekalii..
Semangat Aa..
ReplyDeleteJadilah pohon yang berbuah.sebagaimana harusnya, jangan jadi pohon mangga berbuah apel...
ReplyDeleteTrus a'.....setelah itu jd rajin blajar matematika juga???
ReplyDeleteWah ...
ReplyDeleteGilang sukanya pelajaran Biologi.
Sm sprt saya.
Hahahaa
Ngerinya ama pelajaran bhs inggris dan olahraga kalau saya. Hehehe
ReplyDeleteMatematika masih bisa memahami soal. Bhs inggris?