Bu, Jangan Ajari Aku Membunuh

Ketika aku lahir ke dunia disambut dengan penuh kelembutan orangtua. Dia mengajarkan banyak hal, termasuk seni bertahan hidup. Di tempatku lahir hanya ada dua pilihan membunuh dan dibunuh. Terkadang berpikir bahwa aku salah tempat lahir.

Para pembunuh berkeliaran mengincar siapa saja yang lemah. Tadi pagi, aku baru melihat ibuku sendiri berjibaku melindungiku. Dia melakukan apa saja untuk bertahan hidup sekalipun harus membunuh.

"Nak, di tempat ini tak ada pilihan yang menyenangkan. Kamu hanya dihadapkan pada dua pilihan, membunuh atau dibunuh," Sembari mengelus kepalaku.

"Tapi Bu," aku tak mau membunuh.

"Jangan ada tapi, keraguan hanya mengantarkanmu pada kematian." Ibuku berkata tegas.

Suara gerombolan pembunuh terdengar dari luar. Ibuku berlari sembari mengucapkan kata.

"Nak, kali ini ibu akan ajarkanmu cara membunuh."

Dia berlari secepat kilat, menghantam gerombolan pembunuh itu tampa ampun. Sekali langkah, satu pembunuh tewas. 20 menit berlalu 7 pembunuh itu sudah meregang nyawa. Ibuku nampak berdarah diberbagai tubuhnya. Terlihat sekali gurat lelah hadir di wajahnya.

Tapi pertarungan belum selesai, komplotan pembunuh lainnya berdatangan dalam jumlah lebih banyak. Dia menerjang ibuku namun dengan sigap ibuku menghindar dan berbalik menyerang. Tapi sayang dia sudah dibatas lelah. Dua pembunuh masih bertahan menikam tubuh ibuku yang kelelahan. Ibuku meregang nyawa.

Aku memberanikam diri menghampiri mereka, meniru berbagai teknik ibuku. Emosi yang mengakar melipatgandakan kekuatan. Hanya perlu lima menit untuk menghabisi pembunuh ibuku. Di samping jasadnya, aku berkata.

"Bu, aku sudah jadi pembunuh di Padang Savana."

2 comments