Sudut Ketiga

Sekarang tepat pukul 12 malam. Tidur belum berani menyapa. Ia masih asik berkelana dalam khayalku. Sudah beberapa kali berusaha menghitung domba dalam lamunan namun tidur belum juga menjadi kenyataan. Mencoba cara yang lebih islami, dengan melantunkan ayat suci, tapi bayangan gadis berkacamata itu menari dalam setiap ayat yang kubaca. Ah, apakah aku positif gila ?

Aku masih membayangkan senyummu di saat menanti rintik hujan. Entah kenapa kau begitu ahli menyamar menjadi bidadari. Tawamu hadir ketika ku mencoba menjadi stand comedy amatir. Senyum itu ada ketika ku berkata

"Mungkin bidadari di langit sana akan iri jika melihat kita saat ini."

Segera kau bertanya kenapa

"Mereka iri melihatmu bersama pangeran tertampan di alam mimpi."

Cubitan brutal melayang di pipiku.


**

Dia sering memanggilku gadis berkacamata. Tentu aku tahu alasannya, dua lensa ini selalu menemaniku. Ia berfungsi untuk melihat sesuatu agar lebih jelas, termasuk melihat ketulusan cinta kamu dan dia. Setiap kali bertemu dengannya selalu ada gelak tawa. Andai dia ikut kompetisi standup comedy. Aku yakin dia akan jadi juara pertama, kalau pun tidak dia tetap urutan pertama yang mampu membuatku tertawa.

Dia seorang pria yang sangat percaya diri. Sering kali menyebut dirinya sendiri sebagai sosok pangeran alam mimpi. Dia merasa paling tampan di dalam mimpinya. Aku tertawa, langka bertemu sosok pria seperti dia. Suatu waktu aku menunggu hujan reda bersamanya. Dia bercerita banyak hal. Saat itu aku pertama kalinya berharap hujan jangan dulu reda. Apakah aku jatuh cinta ?
Sulit memastikan, ada sosok lain yang sudah ditentukan.

***

Dari kejauhan aku melihat seorang lelaki dan perempuan sedang berbincang-bincang. Mereka begitu asyik melempar tawa. Aku berada dalam dua rasa, sedih dan bahagia. Bahagia karena seseorang yang nantinya akan menjadi istriku sedang tertawa di seberang sana. Sedih karena tawa itu bukan berasal dari diriku. Aku menyimpulkan bahwa mereka nampaknya saling cinta. Jujur aku tak mau menjadi benteng penghalang cinta mereka. Tapi aku juga tak punya kekuatan untuk menahan segala kesakitan.

Haruskah aku memilih mengikhlaskan ?

5 comments