Ingkar

Kamu paling ahli menitipkan perih di hati. Ada sesaat lalu pergi tak mengenal kembali.
Cinta bukan seperti bola yang bisa dengan mudahnya kau tendang jauh, lalu dibiarkan sendiri berteman dengan segala bentuk sepi.

Jika Tuhan mengijikan kita berbagi rasa, tentu kau akan paham dengan luka yang ada. Sering kali aku memegang dada, memang tak ada darah. namun perih ini nyata bukan cerita fiksi yang kebanyakan berakhir bahagia.

Kau berhak memilih pergi jika sudah tak lagi nyaman denganku, tapi bukan seperti ini caranya. Kau hilang laksana senja, begitu tiba-tiba. Aku belum sempat menata hati, menyiapkan diri di saat engkau pergi.

Seharusnya kau tak memberikan harapan itu. Aku mengira rasa ini memiliki getaran yang sama. Kau nampak memberikan percikan cinta di setiap pertemuan kita. Hingga aku memberanikan diri untuk mengikat perasaan ini.

Aku tak pernah bermain-main dengan cinta. Bila di suatu hari menemukan gadis yang disuka, sepenuh hati akan menjadikannya seorang istri. Aku datang bersama kedua orangtua, berniat menjadikanmu bagian dari keluarga. Kau menganggukan kepala pertanda setuju dengan semua rencana kita.

Keluarga kita mencari tanggal paling baik menurut mereka. Tanggal itu kelak menjadi saksi sejarah dalam babak baru kisah kita. Kau juga tak kalah sibuk memilih desain undangan paling menarik untuk mengabarkan berita bahagia ke seluruh orang yang kita kenal.

Aku sempat bercanda,

"Apakah kau akan mengundang seluruh mantanmu ?"

"Tentu," Kau jawab dengan lugas sembari mengguratkan senyum.

"Tentu aku akan mengundang mereka. Agar mereka iri."

"Iri karena kau menikah dengan seorang pangeran tampan nan rupawan seperti aku kan ?"

Kau menjawab dengan cubitan pelan di pipi. Saat itu akan ingin sekali memerintahkan waktu untuk berhenti.

Apa daya semua hal yang telah kita rancang berakhir percuma. Dia membawamu pergi dan tak pernah bisa kembali. Kenapa kau tega pergi dengannya, di saat cintaku tumbuh begitu lebat. Kau mengkhianati segala rasa yang kupunya. Bukankah dulu kau pernah berjanji hanya mau menjadi istriku.

KINI KAU INGKAR !!!

Kau lebih patuh kepada maut. Aku diduakan oleh kematian. Sekarang hanya bisa mencium nisan yang bertuliskan namamu.








Memang hakmu untuk memilih pergi

1 comment