Dendam

Aku Gilang, anak bungsu dari kedua orangtua yang saling cinta. Orangtuaku punya tiga anak, aku dan kedua kakakku yang berwajah sama. Keluarga kami termasuk mapan dalam hal ekonomi, tak pernah kekurangan. Ayahku seorang pengusaha sukses dengan jejaring bisnis luas. Pagi di Bandung, siang hari sudah di Singapur, malam dinner di Tiongkok. Terkadang sebulan penuh bisa berkeliling dunia mengajak kami berlima plus asisten keluarga, Mba atik.

Aku termasuk yang paling dekat dengan mamah berbeda dengan kedua kakakku, mereka lebih dekat dengan ayah. Meskipun kesibukan mendera ayah, namun ia secara tak tertulis mengharuskan seharian penuh seluruh anggota keluarga berkumpul di rumah. Sekadar untuk bercerita serta memupukan rasa kekeluargaan. Hari itu ayah bercerita kepada ketiga anak lelakinya, bagaimana menjadi seorang lelaki sejati. Aku kagum dengan gaya penuturan ayah, lebih memukau dari motivator terkemuka sekalipun. Kedua kakakku juga nampak setuju, namun sedikit ada wajah yang aneh dari mamah.

Tibalah malam hari, di saat mamah menyiapkan makan malam bersama Mba Atik, asisten rumah tangga yang umurnya lebih muda beberapa tahun dari mamah. Semua anggota keluarga telah berkumpul mengitari meja makan. Kedua kakakku bersemangat sekali menanti makanan buatan mamah yang terkenal lezat tiada dua. Ayah pun menanti hal yang sama. Dengan senyuman mamah membawa beberapa hidangan.

"Bunda, kenapa bukan Atik saja yang membawa makanannya, " Ayah termasuk pria romantis sekalipun umur pernikahan kedua orangtuaku sudah menginjak 20 tahun.

"Engga, Pah. Kasihan Atik kecapean. Ia sudah Bunda suruh beristirahat," Di iringi senyuman.

"Oh, Yaudah, " Ayah menjawab datar.

Tetiba setelah makanan disajikan, kandung kemihku tak bersahabat. Ia diperintahkan otak untuk membuang cairan. Tanpa di komando aku berlari ke toilet.

"Gilang, mau kemana makan dulu, " mamah setengah berteriak melarangku pergi. Namun kali ini aku membangkang, rasa ingin kencing mengalahkan kepatuhan.

"Sudahlah Mah, biarkan saja mungkin dia kebelet."

Rasanya lega telah mengeluarkan cairah yang tak tertahankan. Aku bergegas kembali ke ruang makan namun karena terburu-buru kakiku tersandung sesuatu. Aku mencoba mengamati benda yang membuatku jatuh. Mataku mencoba memfokuskan pandangan tapi tiba-tiba lampu rumah padam. Aku tak kehilangan siasat. Merogoh saku kemudian mengeluarkan HP, menjadikannya sebagai penerangan. Kulanjutkan pengamatanku terhadap benda itu, dengan cahaya terbatas aku menyentuhnya. Bentuknya seperti batok kelapa hanya saja berlumurkan cairan. Aku coba mendekatkan benda itu dengan sumber cahaya dari HP, ternyata mengejutkan.

"Mba Atiiiiiik," Aku berteriak sekuat tenaga. terkejut melihat kepala Mba Atik terpisah dari tubuhnya. Darah segar mengalir dari tempat bola matanya yang sudah hilang.

Sedetik kemudian aku mendengar teriakan mamah diiringi suara tembakan. Di lanjutan dengan rintihan kedua kakakku. Dalam suasana gelap, kepalaku berpikir keras. Ada apa ? Siapa yang tega membunuh Mba Atik begitu kejam. Tubuh Mba Atik bahkan dimutilasi. Peristiwa-peristiwa menyeramkan terjadi tak terduga, aku paling mengkhawatirkan mamah. Ia berteriak penuh ketakutan. Aku mengedap-mengedap menuju ruang makan. Mencoba berpikir jernih terhadap segala kondisi.

Ruang makan tampak lenggang, cahaya dari HP menunjukan kedua kakakku menunduk di meja makan.

"Kak, Mba Atik dibunuh. Sekarang mamah dan ayah dimana ? "

Kedua kakakku terdiam seribu bahasa. Aku mendekati mereka. Mencoba mengguncangkan tubuhnya. Cairan merah mengalir dari kepala. Kedua kakakku telah dibunuh juga.

"Keluar kau pembunuh, jangan menghancurkan keluargaku," Linangan airmata bercampur emosi mengiringi teriakan lirihku.

Aku mencoba mengitari seluruh bagian rumah. Mencari sosok kedua orangtua tercinta. Tibalah di ruang kerja ayah. Aku melihat siluet ayah terduduk ketakutan dihadapannya terlihat bayangan seseorang membawa sesuatu. Ia menarik benda itu, suara bising terdengar.

"Gergaji besi," teriakku dalam hati.

"Hati-Hati ayah, menghindar."

Sebelum teriakanku merambat ke alat pendengarannya, Sabetan gergaji besi memutuskan kepala ayahku. Semburan darah mengalir deras hingga mengenai wajahku. Aku terdiam kaku terlampau takut untuk menyaksikan kejadian ini semua.Tanganku gemetar bahkan tak kuat menggenggam HPku, HPku terjatuh menandai mentalku yang juga jatuh.

Di tengah berbagai ketakutan, terdengar langkah kaki mendekatiku. Aku curiga itu pembunuh ayah. Suara itu semakin dekat bahkan sekarang ia menyentuhku. Ia menggenggam tanganku, aku tak punya kekuatan untuk menolak. Ia memapahku menuju ruang makan.

"Gilang, duduk, " Suara itu sangat akrab di telinga. Suara lembut.

"Mamah," Aku berteriak sembari memeluknya.

"Maaaaah. Kakak, Ayah bahkan Mba Atih telah di bunuh," Sembari mengigil.

"Biarkan saja itu perbuatan setimpal untuk mereka,"

Bagai disengat petir, Aku kaget mendengar ucapan mamah.

"Sudah, jangan dipikirkan Gilang. Mamah masak sayur baso kesukaan kamu. Ini makan." Mamah mengambil nasi dan lauknya.

"Buka mulutmu Gilang, bukannya kamu paling suka disuapin mamah,"

Tetiba lampu menyala, Bola mata terlihat di depan mulutku. Di sisi lain mamah tersenyum penuh luka sembari berkata.

"Atik berselingkuh dengan ayahmu hingga melahirkan dua anak kembar," Sembari melirik ke arah kakak-kakakku yang terduduk kaku.

15 comments

  1. Omg... wanita memang kalau udah sakit hati bener bisa bikin oerang dunia ketiga.

    ReplyDelete
  2. Serem ih, bahkan pembunuhnya si mamah?

    #ekspresi kaget

    ReplyDelete
  3. Serem ya a... Tp koq aq pngen ketawa sih, duh..bener2 cerita fantasi ini a..

    ReplyDelete
  4. Sereeemmm...tapi seruuu...oke banget!

    ReplyDelete
  5. Ini terinspirasi dari emak yg mutilasj anaknya itu ya aagil??

    ReplyDelete
  6. ku kira genrenya aliran indie atau apa, ternyata beda .. hihi

    Tran Ran

    ReplyDelete