Zaman jahiliyah menjadi simbol kebodohan paling kentara di negeri padang pasir. Kelakuan di luar logika sudah menjadi kebiasaan penduduknya. Salah satu budaya mengubur anak perempuan mempertegas guratan yang meniadakan akal.
Di zaman jahiliyah perempuan diperlakukan secara tidak manusiawi. Mereka dianggap makhluk kasta dua yang tidak bisa berperang serta mewarisi kejayaan orangtuanya. Bahkan melahirkan bayi perempuan adalah aib besar. Tak jarang bayi-bayi tak berdosa harus dikubur hidup-hidup demi sebuah harga diri. Masa itu menjadi titik tolak diutusnya Nabi Muhammad untuk memperbaiki negeri Arab yang moral penduduknya sudah di ujung titik nadir.
Ribuan tahun setelahnya. Perempuan punya kedudukan setara dengan pria bahkan dibeberapa aspek kemampuan kaum Hawa tidak bisa diragukan. Contoh keperkasaannya telah kusaksikan beberapa hari yang lalu.
Di suatu pagi aku bergegas berangkat ke kampus untuk menguruskan beberapa kepentingan. Perjalanan ke kampus berkisar 35-40 KM atau jika dikonversikan ke dalam bentuk waktu sekitar 1 hingga 1,5 jam. Tergantung kondisi jalan. Kebetulan saat itu jalanan macet apalagi ketika memasuki wilayah pasar.
Aku mengedarkan mata beberapa detik sebelum menyadari sesosok pengemudi motor membelah jalan dengan lincah. Aku tersentak. Pengendara lincah itu adalah seorang ibu muda bersama ketiga bocah kecil. Satu anak duduk di depan yang lainnya terlihat nyaman di belakang sang ibu muda. Membonceng tiga bocah dengan kecepatan di atas rata-rata dalam kondisi jalan macet hampir mustahil kulakukan. Memang adegan berbahaya namun tetap saja aku kagum dengan skill pengemudi ibu muda tersebut. Semasa gadis bisa saja ia seorang pembalap Moto GP yang bersaing ketat dengan Valentino Rossi.
Tak hanya sampai di sana. Kekagumanku kepada perempuan semakin menjadi ketika melihat mamahku. Di keluargaku mamah adalah orang paling cantik karena hanya ia satu-satunya titisan Hawa paling rajin sedunia. Memuji emak sendiri wajar kali daripada menyanjung janda sebelah nanti takut timbul fitnah
Suatu hari rumahku sangat berantakan setelah di tinggal mamah selama tiga hari. Debu kaca sudah tebal. Cucian tertumpuk sembarangan. Piring berserakan tak karuan. Persis seperti kapal yang habis dihantam obak setinggi puluhan meter. Kedua adikku malas sekali untuk sekadar merapihkan kamarnya. Begitu pun dengan aku, terlanjur lelah dengan terpaan aktivitas sehingga tak ada waktu merapihkan rumah. Eh padahal hanya alasan untuk menutupi rasa malas.
Keadaan rumah sudah kronis. Tumpukan mayat kecoa mengisi bak mandi. Aku tak tega melihat kecoa yang meregang nyawa. Ia nampak sudah lelah dengan kondisi rumah yang tak kunjung bersih. Aku pun lelah beberapa kali mencoba menguatkan niat untuk merapihkan rumah namun selalu kalah dengan rasa malas. Aku akhirnya memilih cara paling bijak yaitu tidur. Berharap sesosok peri cantik datang dan mengayunkan tongkatnya lalu tetiba rumahku bersih bersinar.
Impianku terwujud. Ketika aku terbangun dari tidur panjangku seketika rumah terlihat rapi. Wah, akhirnya ada seorang peri cantik mengabulkan permintaanku. Tanpa diduga sapu mendarat di kepalaku.
"Gilang, kamu ngapain aja rumah berantakan banget gini."
"Bukan aku Mah. Ini semua perbuatan Dika," sembari melirik adikku yang asyik memainkan HPnya.
Dua kejadian yang mengantarkanku pada sebuah kesimpulan. Pada zaman jahiliyah kasta perempuan berada di bawah pria. Sesungguhnya itu salah. Pria dan perempuan ibarat sepasang sandal. Berbeda langkah namun mengarah ke tempat sama. Jangan menganggap perempuan tak bisa melakulan apa-apa. Aku belajar arti kelembutan yang menguatkan dari seorang perempuan. Aku lahir ke dunia berkat perantaranya. Menghormati kaum hawa bukti keperkasaan seorang pria.
Di zaman jahiliyah perempuan diperlakukan secara tidak manusiawi. Mereka dianggap makhluk kasta dua yang tidak bisa berperang serta mewarisi kejayaan orangtuanya. Bahkan melahirkan bayi perempuan adalah aib besar. Tak jarang bayi-bayi tak berdosa harus dikubur hidup-hidup demi sebuah harga diri. Masa itu menjadi titik tolak diutusnya Nabi Muhammad untuk memperbaiki negeri Arab yang moral penduduknya sudah di ujung titik nadir.
Ribuan tahun setelahnya. Perempuan punya kedudukan setara dengan pria bahkan dibeberapa aspek kemampuan kaum Hawa tidak bisa diragukan. Contoh keperkasaannya telah kusaksikan beberapa hari yang lalu.
Di suatu pagi aku bergegas berangkat ke kampus untuk menguruskan beberapa kepentingan. Perjalanan ke kampus berkisar 35-40 KM atau jika dikonversikan ke dalam bentuk waktu sekitar 1 hingga 1,5 jam. Tergantung kondisi jalan. Kebetulan saat itu jalanan macet apalagi ketika memasuki wilayah pasar.
Aku mengedarkan mata beberapa detik sebelum menyadari sesosok pengemudi motor membelah jalan dengan lincah. Aku tersentak. Pengendara lincah itu adalah seorang ibu muda bersama ketiga bocah kecil. Satu anak duduk di depan yang lainnya terlihat nyaman di belakang sang ibu muda. Membonceng tiga bocah dengan kecepatan di atas rata-rata dalam kondisi jalan macet hampir mustahil kulakukan. Memang adegan berbahaya namun tetap saja aku kagum dengan skill pengemudi ibu muda tersebut. Semasa gadis bisa saja ia seorang pembalap Moto GP yang bersaing ketat dengan Valentino Rossi.
Tak hanya sampai di sana. Kekagumanku kepada perempuan semakin menjadi ketika melihat mamahku. Di keluargaku mamah adalah orang paling cantik karena hanya ia satu-satunya titisan Hawa paling rajin sedunia. Memuji emak sendiri wajar kali daripada menyanjung janda sebelah nanti takut timbul fitnah
Suatu hari rumahku sangat berantakan setelah di tinggal mamah selama tiga hari. Debu kaca sudah tebal. Cucian tertumpuk sembarangan. Piring berserakan tak karuan. Persis seperti kapal yang habis dihantam obak setinggi puluhan meter. Kedua adikku malas sekali untuk sekadar merapihkan kamarnya. Begitu pun dengan aku, terlanjur lelah dengan terpaan aktivitas sehingga tak ada waktu merapihkan rumah. Eh padahal hanya alasan untuk menutupi rasa malas.
Keadaan rumah sudah kronis. Tumpukan mayat kecoa mengisi bak mandi. Aku tak tega melihat kecoa yang meregang nyawa. Ia nampak sudah lelah dengan kondisi rumah yang tak kunjung bersih. Aku pun lelah beberapa kali mencoba menguatkan niat untuk merapihkan rumah namun selalu kalah dengan rasa malas. Aku akhirnya memilih cara paling bijak yaitu tidur. Berharap sesosok peri cantik datang dan mengayunkan tongkatnya lalu tetiba rumahku bersih bersinar.
Impianku terwujud. Ketika aku terbangun dari tidur panjangku seketika rumah terlihat rapi. Wah, akhirnya ada seorang peri cantik mengabulkan permintaanku. Tanpa diduga sapu mendarat di kepalaku.
"Gilang, kamu ngapain aja rumah berantakan banget gini."
"Bukan aku Mah. Ini semua perbuatan Dika," sembari melirik adikku yang asyik memainkan HPnya.
Dua kejadian yang mengantarkanku pada sebuah kesimpulan. Pada zaman jahiliyah kasta perempuan berada di bawah pria. Sesungguhnya itu salah. Pria dan perempuan ibarat sepasang sandal. Berbeda langkah namun mengarah ke tempat sama. Jangan menganggap perempuan tak bisa melakulan apa-apa. Aku belajar arti kelembutan yang menguatkan dari seorang perempuan. Aku lahir ke dunia berkat perantaranya. Menghormati kaum hawa bukti keperkasaan seorang pria.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletePria perkasa tak perlu kekar karena... "Menghormati kaum hawa bukti keperkasaan seorang pria." :D
ReplyDeleteMengundang canda tawa tapi tetap bermanfaat dan menggugah semangat. Terasa renyah. Begitu menggiurkan. Ya, itulah tulisan seorang Gilang setiawan :)
Tulisan yg sarat makna.
ReplyDeleteNamun disampaikan dengan bahasa yg ringan & sesekali membuat pr pembaca senyum2 sendiri 😊.
Mantap Bang Gil.👍
Hahaha..kecoa nya jadi aktor juga
ReplyDeleteCara paling bijak, tiduuur...
ReplyDeleteHahaha kecoanya tak dimakamin? :D
Pesannya dalem.
ReplyDeleteNamun ttp dituturkan dg gaya bahasa slengekannya Aa.
Tulisan Gilang bangett ini aromanya.
kereen tulisan gilang....
ReplyDelete