Jarak bagian 14 "Emosi"

Hai pembaca. Selamat datang di cerbung jarak. Jika ada yang belum membaca jarak bagian sebelumnya tinggal klik


Selamat membaca


Tidak banyak hal yang berubah setelah tragedi pembakaran gubuk tak berpenghuni. Trauma yang dirasakan Jama sudah berkurang drastis. Gerombolan preman harus menginap di rumah prodeo untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dakwaan percobaan pembunuhan menjadi alasan mereka mendekam beberapa tahun ke depan.

Lonceng nyaring berbunyi. Puluhan siswa berbaris rapi. Satu persatu masuk ke dalam kelas. Menyusul Gilang, Teguh dan Jama di barisan terakhir. Tempat duduk mereka paling belakang sehingga harus melewati beberapa meja di depannya.

Sorot mata tak suka menatap tajam. Ditujukan seorang anak lelaki yang duduk paling depan. Adli Makarim, anak dari ketua komite SDN 3 Cikalongwetan. Pak Adnan Makarim adalah pemilik perkebunan terbesar di daerah Cikalongwetan. Hartanya melimpah. Adli tumbuh dengan segala fasilitas yang dibutuhkan. Cukup sekali berbicara keinginan sudah menjadi nyata. Ia tidak pernah suka melihat orang lain menjadi lebih terkenal daripada dirinya.

Cerita Gilang dan Jama yang berhasil pelumpuhkan bos preman di kota sampai ke telinga warga. Banyak orang yang memuji keberanian mereka. Berbeda hal dengan Adli, ia malah semakin benci.

"Hey tiga bebek dekil dan miskin," Adli berseru dengan suara lantang. Namun mereka hiraukan.

"Jangan so jago kalian, mentang-mentang ngalahin preman," suara keras Adli kembali diacuhkan.

Gilang sudah tahu tabiat Adli sedari dulu. Merendahkan orang lain seakan juga menjadi hobinya.

"Berasa ada yang berbicara. Lang, Jam kalian dengar," Gilang dan Jama bersama-sama menggelengkan kepala.

Adli semakin kesal. Bersiap melempar penghapus papan tulis. Lemparan Adli tepat, tepat di tangan Gilang.

"Sejak kapan sekolah ini dihuni Jin. Tadi ada suara aneh. Sekarang penghapus terbang sendiri. Serem banget," Teguh berbicara sembari diiringi tawa.

Adli naik pitam. Sumpah serapahnya semakin menjadi.

"Dasar anak-anak miskin. Miskinnya keturunan dari orangtuanya. Aneh kok miskin turun-temurun," Adli tertawa penuh kepuasaan tapi tetiba tawanya terhenti. Gilang bergeral cepat meraih kerah baju Adli.

"Silakan kamu merendahkan aku. Silakan ku hina aku. Tapi jangan sekali-kali menghina orangtua," wajah Gilang memerah. Ia tak pernah suka siapapun menghina orangtuanya. Sekalipun anak ketua komite, anak kepala desa, anak menteri bahkan anak presiden pun tak berhak menghina keluarganya.

Adli tertawa penuh arti melihat Gilang tersulut emosi.
posted from Bloggeroid

7 comments