Jarak Bagian Keempat "Di Antara Rindu"

Sebelum membaca ini terlebih dahulu membaca jarak bagian tiga yuk ? agar tak kehilangan benang merah ceritanya.

Rumah mewah dengan halaman  tertata rapi di depannya menyajikan keindahan tak biasa bagi orang yang pertama kali melihatnya. Tiga bocah kecil menatap kagum bangunan megah bernomor 45. Lima menit sudah mereka terpaku saling menatap satu sama lain, bingung bagaimana caranya masuk. Tiga bebek desa tak tahu cara mengabari Fika bahwa mereka sudah di depan rumahnya. Saat itu handphone masih langka, jika pun ada uang mereka tak akan cukup membelinya. Rumah Fika berbanding terbalik dengan Gilang,  laksana langit dengan kerak bumi terdalam. Kata rumah sungguh tak layak untuk bangunan semi permanen tempat Gilang dan keluarganya melepas penat. Ketika hujan datang gubuk itu bagai kolam renang penuh lumpur, seolah menyempurnakan ketidaknyamanannya. Tidak seperti rumah Fika yang terjaga dengan keamanan berlapis, gubuk Gilang bahkan tak punya kunci, pintu pun tak ada berganti kain yang membebaskan angin masuk sebebas-bebasnya. Di tengah ketidaknyamanan, ada satu hal yang disyukuri, Gilang selalu bisa melihat bintang di balik genteng bocornya.

Teguh naik ke punggung Jama berupaya meraih tombol dengan bulatan merah khas. Teguh dan Jama sedikit lebih berpengalaman dari pada Gilang untuk urusan hal-hal berkategori mewah. Mereka mengupdate pengetahuan melalui sinetron yang disaksikan di pos ronda. Sinetron berlatarkan percintaan remaja, selalu saja menampilkan berbagai kemewahan jauh berbeda dengan keadaan ekonomi sebagian besar penonton setianya. Tombol merah itu sebentar lagi diraih Teguh namun Jama teralihkan fokus oleh sosok gadis kecil di ujung gerbang, ia menghampiri melupakan Teguh yang berada di pungguknya, “Brug” suara yang membuat gadis kecil itu memasang senyum simpul.

“Tega lu Jam, hampir aja tombol itu gue pencet lu malah gerak-gerak nggak jelas,” sembari memegang punggungnya yang masih sakit.

“Lihat tuh di depan,”Senyuman Fika mengalihkan rasa sakit Teguh.

“Fikaaa,”Suara Gilang dan Teguh bersautan mengucapkan kata sama.

“Kalian sedang apa di luar, ayo masuk ke dalam?” gerbangnya pun dibukan Fika.

Tiga serangkai itu  mengangguk bersedia memasuki pelantaran rumah Fika. Keindahan rumahnya tidak hanya nampak di luar tapi ketika masuk pun nuansa mewah makin terasa. Lukisan berlatar pedesaan nampak di dinding kiri serta kanan, hiasan guci berjajar rapi. Beberapa foto keluarga menghiasi  sudut-sudutnya, tapi aneh foto-foto hanya menampilkan Fika dan ibunya tanpa menyertakan ayahnya. Gilang sempat ingin bertanya namun seseorang dengan wajah teduh menghampiri mereka.

“Assalamu’alaikum, ini yah teman-teman di sekolah baru Fika, siapakah namanya?,”

Tiga serangkai menyebutkan nama mereka sembari berkenalan, setelah itu ibu Fika pergi namun beberapa menit kemudian kembali membawa cemilan disertai empat gelasan minuman. Fika menatap sendu ke arah foto yang berukuran besar sejajar dengan home theater gagahnya.

“Bu may memberikan kita tugas untuk mengamati suatu lingkungan sosial, kira-kira tempat apa yah yang cocok ada usul nggak?, ” Gilang mengawali diskusi mengenai tugas Bu May.

“Sebaiknya tempat yang tidak jauh dari sini, kan Bu May juga menyarankan begitu.”

“Padahal yang jauh kan lebih menantang,” Teguh memberi usul dengan suara tak jelas karena makanan berada di mulutnya.

“Aku sih dimanapun setuju aja,” usul Jama sembari mengambil jus jeruk di sampingnya
.
“Bukannya diskusi kalian malah makan terus, bagaimana kalau di Rumah sakit seberang aja?.”

“Aku setuju,” Jama dan teguh mengangguk, masih sibuk dengan makanan di tangannya.

“Bagaimana dengan Fika ?,” Gilang beberapa kali mengulang ucapannya namun Fika masih terfokus melihat sesuatu di depannya.

“Iya,iya aku setuju,”

Gurauan demi gurauan menghiasi ruang tamu mewah itu, suasana tak biasa hadir di hati Fika. Sudah lama sekali tidak pernah merasakan kebahagian dengan simpul tawa di bibirnya. Semenjak satu-satunya pria dalam keluarga pergi entah kemana.

Kerja kelompok mereka menghasilkan sebuah kesimpulan, tugas meliput kegiatan lingkungan sosial sudah ditentukan bertempat di sebuah rumah sakit yang tak jauh dari sekolah mereka. Tiga serangkai itu pulang, melanjutkan kegiatan untuk mencari sepeser uang makan.

Di kamar luasnya, Fika merenung memikirkan sesuatu, kemudian ia membuka jendela menatap setiap bintang-bintang terang. Dari kejauhan ia merasakan rindu kepada seorang pria yang dipanggilnya ayah. Seperti bintang diluar sana kerinduan itu tak mampu ia jangkau. Di tempat lain dengan suasana jauh berbeda, Gilang melihat bintang dari genteng bocornya. Suasana dingin mengantarkan rasa kantuk, ia tertidur bersiap menghadapi hari berat berikutnya.

11 comments

  1. tugas tantangan sudah dikerjakan, baguuus, saya suka saya suka

    ReplyDelete
  2. tugas tantangan sudah dikerjakan, baguuus, saya suka saya suka

    ReplyDelete
  3. Tantangan terlampaui ^_^
    Mission accomplished!
    Good Job.
    Semangat, terus berkarya...

    ReplyDelete
  4. Ceritamu ini selalu mengajak pembaca berpikir dan menebak-nebak Bang. Keren.

    ReplyDelete
  5. Ceritamu ini selalu mengajak pembaca berpikir dan menebak-nebak Bang. Keren.

    ReplyDelete
  6. wah ... hari pertama langsung ngejawab tantangan
    saya bahkan masih buntu ide

    ReplyDelete
  7. Hebat nian bang gilang ini.... Bisaa aja idenya.

    ReplyDelete
  8. alurnya mantap bang.. Tantangan terselesaikan, good Job

    ReplyDelete
  9. Keren bang ditunggu kelanjutannya yaa

    ReplyDelete
  10. Waahh, sudah masuk tantangan kata ya. Keren, Kang.

    ReplyDelete