Di Kutuk Jadi Ulekan.

Sejak tadi aku menyaksikan mamah memasak. Memang benar mamah adalah chef paling ahli di keluargaku, lebih tepatnya tak ada yang mau memasak selain mamah. Aku punya pandangan tersendiri dalam masalah itu, terbayang jika semua orang di keluargaku memasak lalu siapa yang akan berperan sebagai pencicip. Itulah fungsi keseimbangan dalam keluarga. Mamah memasak dan aku yang makan. Cukup adil bukan ?

Mamah yang sibuk memasak mulai kerepotan lalu meminta bantuan kepada anaknya. Adikku Dika, dia lebih dahulu berlari sebelum mamah melirik pertanda akan memberikan perintah. Adikku lainnya, Putra lebih memilih berpura-pura mengaduh sakit lalu hilang entah kemana. Mereka memang kejam akhirnya aku dikorbankan untuk menjadi mangsa chef terhandal keluarga.

"Gilang, jangan diem mulu. Bantu mamah masak sini," Muka galak muncul.

"Tapi Mah, aku mau jumatan," Aku mengiba.

"Jumatan katamu ? Nggak boleh," Mamah tegas.

"Loh Mah, ini perintah Allah untuk setiap lelaki agar salat jumat," Aku membela diri.

"Memang sih perintah Allah, tapi lihat tanggal dong. Ini hari senin. Jangan banyak alasan cepat bantu," Setengah berteriak.

Aku salah memasang strategi, mamah memang ahli dalam mengingat hari dan tanggal. Bahkan kemampuan itu akan meningkat ketika memasuki akhir dan awal bulan. Wajar saja seorang bendahara keluarga memiliki kepekaan terhadap jumlah uang di dompet yang semakin menipis ketika memasuki akhir bulan. Pesan moralnya jangan pernah menolak perintah seorang ibu apalagi di akhir bulan, kalau menolak kita akan dikutuk jadi batu ulekan.

Ketika aku disuruh masak oleh mamah, terbayang kilatan kegagalan dalam menekuni pekerjaan yang satu ini. Aku berulang kali gagal memasak nasi goreng karena terlalu banyak minyaknya, hingga lebih pantas disebut kuah nasi berminyak. Aku pun pernah gagal membuat seblak (makanan khas Bandung) karena terlalu banyak memasukan air sehingga lebih mirip sup daripada seblak. Deretan kegagalan lainnya mewarnai karierku sebagai chef pemula, akhirnya kumemutuskan gantung wajan dan mengandalkan mamah dalam segala urusan masak-memasak.

Kali ini berbeda, perintah langsung turun dari atasan yaitu mamah untuk membantunya dalam memasak. Jujur saja sebenarnya aku takut untuk menolak karena tak mau dikutuk jadi ulekan batu. Di sisi lain jika masakanku tidak enak, mamah juga akan murka dengan dalih sudah gede belum bisa masak. lalu mamah akan berkata

"Kalau kamu tidak bisa masak, nanti suamimu mau makan apa ?" Sembari melihat tajam ke arahku.

"Tapi Mah aku cowok nggak mungkin punya suami." Aku tertawa.

"Jangan tertawa Lang, mamah serius. Jangan selalu mengandalkan perempuan, kamu juga harus bisa masak." Berbicara tegas.

Sebelum memulai masak, aku memperhatikan mamah yang sedang menulis. Aku bingung, mamah mau masak atau nulis. Oh mungkin mau masak sembari menulis puisi.

"Oh begitu hebat mamahku," Gumamku dalam hati.

"Ini Lang, resep sayur kacang yang harus kamu buat. Mamah mau istirahat dulu.

"Okey deh Mah,"

Aku pikir mudah membuat sayur kacang hanya memasukan air dan kacang, taraaa lalu jadi. Ternyata tak semudah yang dilihat. Aku harus berusaha mengenali beberapa bumbu dapur yang tak tahu bentuknya. Dengan bantuan google akhirnya sayur kacang pertamaku pun siap dihidangkan. Di dalam hati berdoa semoga masakan pertama tidak jadi racun. Tak lucu jika sayur kacang berubah menjadi racun yang lebih mematikan daripada sianida.

"Lang, sudah beres masakannya ? " Mamah tiba-tiba datang entah darimana.

"Sudah nih Mah," Aku berkata ragu.

"Mamah cicipin yah," Mamah mulai memegang sendok.

"Jangan Mah, aku nggak mau kehilangan mamah." Memasang wajah bersedih.

"Ngomong apa sih kamu," Mamah nampak bingung.

"Aku takut sayur kacangnya beracun nanti mamah jadi korban masakanku." Masih memasang wajah sedih.

"Jangan bicara yang tidak-tidak, sayur kacang kok bisa jadi racun."

Mamah merasakan masakanku. Wajahnya datar tidak menunjukan ekspresi apapun. Aku khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

"Mamah, bagaimana rasanya ?" aku bertanya setengah ragu.

Beberapa detik mamah terdiam lalu berkata

"Sudah cukup enak Lang, tapi ada yang kurang,"

"Apa Mah ?" aku bertanya penasaran.

"Kamu pasti belum kasih salam."

"Oh gampang itu Mah. Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam ke arah sayur kacang.

Tiba-tiba raut wajah mamah berubah lalu dengan sigap mengelus kepala sembari berkata

"Lang, mau mamah kutuk kamu jadi ulekan batu ?

5 comments