Perjuangan Agus Akmaludin dan Sekolah Djuantika di Cicalengka



Selama Masih Ada Harapan, Pendidikan Tidak Akan Mati
Perjuangan Agus Akmaludin dan Sekolah Djuantika di Cicalengka

Sumber : IG @agus.akmaludin

"Saya tidak sedang membangun sekolah, saya sedang menjaga harapan anak-anak desa agar tidak padam," ujar Agus Akmaludin, pendiri Sekolah Gratis SMP Djuantika di Cicalengka, Kabupaten Bandung.

Perjuangan Agus Akmaludin

Kisahnya bukan sekadar tentang mendirikan sekolah, tetapi tentang sebuah perjuangan kemanusiaan.
Saya percaya pendidikan bukan hanya soal ruang kelas, nilai ujian, atau ijazah. Pendidikan adalah ikhtiar untuk memperbaiki hidup dan membebaskan manusia dari keterbatasan. Tetapi kenyataannya, tidak semua anak di negeri ini mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah. Terutama mereka yang tinggal di pedesaan, jauh dari fasilitas pendidikan yang memadai. Salah satunya terjadi di Cicalengka, Kabupaten Bandung.

Sumber : IG @agus.akmaludin

Di kampung-kampung di wilayah ini, banyak anak yang berhenti sekolah setelah lulus SD. Alasannya bukan karena mereka tidak ingin belajar, tetapi karena keadaan memaksa mereka untuk menyerah. Ada yang berhenti karena harus membantu orang tua bekerja, ada yang tidak sanggup membayar ongkos sekolah, dan ada yang rumahnya terlalu jauh dari sekolah menengah terdekat. Akibatnya, masa depan mereka seolah terhenti terlalu cepat.

Di tengah kenyataan itu, seorang pemuda bernama Agus Akmaludin tidak tinggal diam. Ia melihat anak-anak ini bukan sebagai beban sosial, tetapi sebagai generasi yang layak diperjuangkan.
 
"Kalau sekolah terlalu jauh dan terlalu mahal untuk mereka, maka sekolah harus didekatkan dan digratiskan," kata Agus.

 Dari keyakinan sederhana itu, berdirilah SMP Djuantika pada tahun 2018.
Sekolah ini tidak lahir dari bantuan pemerintah atau dana besar. Tidak ada investor. Tidak ada bangunan mewah. Yang pertama kali berdiri hanyalah sebuah saung bilik beratap terpal. Kursi-kursinya terbuat dari kayu bekas, papan tulisnya sumbangan warga, dan ruang kelasnya dipisahkan tirai kain. Namun di sinilah, anak-anak desa kembali menemukan hak mereka untuk belajar.


Sejarah dan Nilai Kehidupan dari SMP Djuantika

Sumber : IG @smp.djuantika
SMP Djuantika berdiri dengan prinsip tegas: pendidikan harus sepenuhnya gratis. Tidak ada uang bangunan. Tidak ada SPP. Tidak ada seragam wajib. Tidak ada pungutan apa pun. Sekolah ini bertahan murni berkat dukungan gotong royong masyarakat. Ada tetangga yang menyumbang kayu, ada guru sukarelawan yang mengajar tanpa dibayar, ada petani yang datang membawa beras sebagai bekal makan siang bersama.

Berbeda dengan sekolah pada umumnya, Djuantika tidak hanya mengajarkan pelajaran akademik. Agus percaya bahwa hal terpenting yang harus dibangun terlebih dahulu adalah karakter. 

Ia selalu berkata kepada murid-muridnya: "Orang yang pintar akan dihormati, tetapi orang yang jujur akan dipercaya sepanjang hidupnya." 

Maka, pendidikan karakter menjadi bagian inti dari kurikulum Djuantika.
Selain pelajaran formal, sekolah ini membentuk kepribadian murid melalui program nyata kehidupan. Salah satunya adalah Tala Kembara, sebuah program pendidikan karakter yang dilakukan di alam terbuka. Murid-murid diajak mendaki gunung, hidup sederhana, memecahkan masalah bersama, dan belajar tentang tanggung jawab. Di perjalanan itu, mereka belajar satu hal penting: bahwa kesulitan bukan alasan untuk menyerah.

Perjalanan mendirikan sekolah ini tidak selalu mudah. Agus sering menghadapi keraguan, bahkan penolakan. Ada yang menuduh sekolahnya ilegal, ada yang menertawakan ide sekolah gratis, dan ada yang mengatakan usaha ini hanya akan bertahan sebentar. Tetapi waktu membuktikan bahwa semangat tulus tidak mudah dipatahkan.

Perjuangan Belum Berakhir

                                                                Sumber : IG @smp.djuantika

Kini, SMP Djuantika telah memiliki lebih dari satu ruang kelas permanen. Jumlah siswa terus bertambah setiap tahun. Relawan datang bukan hanya dari desa sekitar, tetapi juga dari luar kota. Masyarakat mulai percaya bahwa sekolah ini bukan mimpi sesaat, tetapi perjuangan yang nyata. Yang tumbuh di sekolah ini bukan hanya barisan meja dan kursi, tetapi barisan harapan.

"Saya tidak ingin ada anak yang kehilangan masa depannya hanya karena lahir di tempat yang salah," ujar Agus. Kalimat itu sederhana, tetapi memukul sadar banyak orang bahwa pendidikan sering kali lebih ditentukan oleh keadaan sosial dibanding niat belajar.

Kisah SMP Djuantika di Cicalengka adalah bukti bahwa perubahan tidak selalu lahir dari kekuasaan atau program besar. Perubahan bisa dimulai dari sebuah saung kecil, dari orang biasa yang memiliki tekad luar biasa. Perjuangan Agus adalah pengingat bahwa pendidikan tidak boleh menjadi barang mewah. Pendidikan adalah hak, dan selama masih ada orang yang memperjuangkannya, pendidikan tidak akan mati.

#APA2025-ODOP
#SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia
OlderNewest

Post a Comment