Ijazah Alat Mencari Nafkah ?

Ketika mengikuti seminar kepenulisan kreatif dengan pembicara Pidi Baiq, penulis novel "Dilan" yang meraup miliaran rupiah dari hasil tulisannya pernah berkata "Hingga hari ini aku belum ngambil ijazah dari ITB, aku nggak mau sombong memamerkan ijazah ke setiap perusahaan," Semua peserta tertawa tapi saya merenung.

"Ini sindiran kelas atas."

Sebagian orang (termasuk saya) menyandarkan hidupnya dari secarik kertas berisi nilai. Jika dipikirkan secara logika, kuliah 4 tahun bahkan ada yang 8 tahun ( Inimahasiswa atau donatur kampus, upss) menukarkan rupiah, waktu, dan tenaga hanya untuk secarik kertas ialah pemborosan waktu. Beda hal dengan menukarkan rupiah dengan ilmu, tentu sebanding dengan diangkatnya derajat orang yang berilmu di mata Tuhan.

Tentu saya tidak memosisikan diri sebagai orang yang berkata "Kuliah itu harus lama agar ilmunya matang, yang menyelesaikan kuliah tepat waktu nantinya jadi babu," menyelesaikan yang kita awali merupakan bentuk tanggungjawab kepada keluarga, terutama orangtua yang telah sukarela memberikan "beasiswa penuh". Jangan sampai ada anggapan calon mertua "Kuliah aja lama apalagi meminang anak gadisnya."

Ijazah memang penting tapi bukan sandaran utama untuk mencari nafkah. Jangan beranggapan ketika memeroleh gelar akademik, dunia lebih mudah dan uang akan berputar hanya untuk kita. Di balik ijazah dan gelar akademik yang melekat, ada tanggungjawab sosial yang besar.

2 comments