Kepingan Rasa Puzzle 25

Puzzle sebelumnya baca di sini

"Kepura-puraan lambat laun akan menimbulkan rasa lapar."

Itu adalah sebuah Quote yang sangat terkenal. Quote yang baru saja aku pikirkan semenit lalu. Setelah menjalankan sebuah misi yang membuat jantung berdetak lebih dari biasanya. Jika polisi cinta tahu tentang kesalahanku, tentu saja dia akan menghukumku dengan hukuman paling berat. Seperti Jenderal Tien Peng yang harus dihukum 1000 kali rekarnasi hingga akhirnya jadi siluman babi. Kesalahannya dianggap fatal, melakukan cara di luar norma untuk mendapatkan cinta.

Aku tak mau mengalami nasib yang serupa seperti kisah Sang Jenderal cinta, terlebih aku tak mau dikutuk menjadi siluman babi. Lebih memilih dikutuk menjadi Reza Rahardian, eh itu kutukan atau anugrah ? entahlah yang pasti kejadian ini jangan sampai ada yang tahu.

Bel tanda istirahat telah berbunyi. Romeo menghampiriku yang sedang menyantap baso. Dia memasang senyuman paling indah, senyuman yang jarang sekali aku lihat.

"Gilang, sang pejuang cinta," Dia berlagak seperti prajurit pembawa berita.

"Yah hadir," Aku menjawab datar. Wajah Romeo berubah, dia nampak kesel dengan jawabanku.

"Kok jawabnya gitu sih Lang ?"

"Harusnya bagaimana,"

"Yaudah jangan bahas deh."

"Hehehe maaf, eh bagaimana reaksi Cili tadi ?"

"Nah itu yang mau aku bahas. Ada tiga berita Lang, dua berita baik, satu berita duka."

"Apa-apa," mengubah posisi duduk mendekati Romeo.

"Semalem Persib menang Lang," seketika tanganku mengarah ke Romeo. Jitakan maut bersarang di kepalanya.

"Kamu serius banget sih. Jadi gini.."

Romeo menceritakan betapa sedihnya Cili ketika aku keluar kelas. Ada air mata yang menetes saat aku pergi.

"Sudah kuduga, lalu berita buruknya," Wajahku mendekat ke arah wajah Romeo.

"Geser dulu Lang. Jijik aku lihat kamu sedekat ini."

"Okey jadi bagaimana ?"

"Setelah istirahat Cili jalan bareng dengan Angga," Romeo memasang mimik serius.

"Angga yang doyan manjat-manjat itu ? atlet panjat pinang ?"

"Doyan manjat ? Atlet pajat tebing. Kalau doyan manjat itu kamu, doyan nyolong Jambu Mang Ikin."

"Apalah itu aku nggak peduli."

Baru saja diomongkan Angga dan Cili nampaknya berjalan ke arah kami. Ada senyum yang tak aku sukai dari wajah Angga. Senyum seribu arti. Sejak dulu memang aku tak suka dengan Angga. Terlalu sombong dengan prestasi-prestasinya yang dia raih. Kalau aku berniat melakukannya tentu lebih baik daripada yang dia peroleh, cuman males aja panjat-panjat tanpa tujuan, kecuali manjat pohon jambu Mang Ikin.

Bertolak belakang dengan wajah Angga, nampaknya Cili merasa kesal terpancar sekali dari wajahnya. Semakin mendekati semakin jelas juga cairan bening dimatanya.

"Plaaaak," tamparan keras melayang ke wajahku.

3 comments