Abai

Gesekan senar biola menciptakan suasa sendu, kau meneteskan bulir airmata. Berucap terimakasih karena aku mengajakmu ke konser penyanyi jazz yang kau damba. Aku bahagia menjadi alasan dibalik senyummu yang memesona. Setiap alunan lagu engkau hayati seolah orang di atas panggung sana hanya menyanyi untukmu. Tetiba di lagu terakhir, penyanyi itu menunjuk engkau naik ke panggung, mengajakmu bernyanyi bersama. Kau menatap wajahku, aku mengangguk pertanda menginjinkanmu.

Kau kembali dengan wajah ceria. Menggengam tanganku sembari bercerita bahwa penyanyi yang kau suka tak hanya mengajak bertukar suara tapi berbicara empat mata. Aku membalas genggaman tanganmu. Senang melihat mata indah berbinar. Suatu hari nanti tatapan mata yang sama akan hadir, saat engkau aku lamar. Biarlah kini bingkai persahabatan menjadi landasan hubungan kita. Aku belum siap untuk menyatakan suka. Mulut terlalu malu sekadar berucap cinta.

Entah kenapa di saat pandangan pertama, engkau menunjukan pesona luarbiasa sehingga dewa asmara lancang mengarahkan panah cinta tepat di dadaku. Aku tak bisa menolak karunia Tuhan berupa rasa suka kepadamu, sekalipun saat ini tak pernah tahu bagaimana perasaanmu, sama ataukah sekadar menganggapku teman biasa, tempat engkau menyandarkan kepala di saat duka.

Teman-teman kita menyimpulkan, antara aku dan kamu ada hubungan tak biasa. Alasan mereka sudah sesuai logika. Di mana engkau berada, akupun di sana. Kita laksana bubur dengan kerupuk selalu bersama diberbagai keadaan. Seperti saat ini, mendadak berada di dunia baru bersama kamu. Aku yang terbiasa hidup dengan sepi sukarela masuk dalam dunia yang ramai. Berusaha menyukai musik jazz dengan alasan sederhana karena kamu suka.

Konsernya telah usai menyisakan rona bahagia di wajah kita. Bahagiaku karena bisa bersama kamu, bahagiamu aku tidak tahu. Yang aku tahu tiga bulan ke depan sudah membulatkan hati untuk melamarmu, di suasana dan tempat yang sama. Kelak ku akan sukarela dengan segala keputusanmu. Menerima ataupun menolak, setidaknya aku tahu jawaban darimu. Kalau boleh sih menerimaku, kalau menolak aku tak tahu harus mencintai siapa lagi selain kamu.

Tiga bulan berselang. Ku persiapkan mawar dan cincin terindah untukmu. Selama tiga bulan lalu tak pernah alfa menabung uang untuk merencanakan memesan tiket VIP di konser penyanyi kesukaanmu. Ku relakan makan dengan seadanya demi hari istimewa ini. Aku terkejut ketika kau seolah bisa membaca hatiku, Kau mencuri start dengan membeli dua tiket VVIP untuk kita berdua.

Bak pasangan kekasih yang dilanda panah cupid, tanpa direncanakan kita berdua memakai pakaian hampir sama. Awalnya engkau menuduhku memasang CCTV dikamarmu karena aku tahu setiap detail dari kebiasaanmu. Tawa kecil menghiasi wajahku.Aku berkata, tidak memasang CCTV tapi menitipkan hati dalam dirimu. Engkau mencubitku pelan.

Warna-warni lampu mampu menyoroti seseorang. Ia adalah penyanyi yang kita tunggu. Engkau teriak histeris seperti kesurupan makhluk halus. Lagu demi lagu telah dibawakan. Di lagu terakhir aku telah menyiapkan segala amunisi, baik itu puisi paling manis serta cincin dan mawar sebagai bukti romantis. Di saat menyiapkan segala hal, aku lupa terhadap sesuatu terpenting. Ia hilang entah kemana sementara lagu terakhir hampir dimulai bahkan orang di atas panggung sudah memegang mic lalu berkata

"Terimakasih untuk kalian semua yang telah hadir. Ini lagu terakhir dari saya. Lagu ini spesial untuk setiap orang yang sedang jatuh cinta, khususnya untuk seseorang yang baru seminggu lalu aku lamar."

Gadis yang kucinta berada tepat disamping penyanyi yang ia suka. Begitu mesra sembari berpegangan tangan, Aku abai terhadap cincin dijari manisnya.

6 comments