Sebelum membaca cerbung jarak alangkah baiknya membaca bagian sebelumnya untuk menelusuri benang merah cerita. Klik di sini "Jarak 15"
Adli terkapar pukulan telak dari Gilang menghujam pelepis
dan hidungnya. Darah segar mengalir. Adli pingsan setelah menyadari hidungnya
mengeluarkan cairan merah. Sakit jelas terasa tapi sebenarnya Adli tak
sepenuhnya pingsan. Ia berusaha memperkeruh suasana dengan pura-pura tak
berdaya
Setelah meluapkan emosi. Gilang kembali duduk di bangkunya.
Menatap tak peduli anak ketua komite yang sedang berakting pingsan. Fika, Jama
serta Teguh menatap heran ke Gilang. Mereka tahu belum saatnya menghakimi
perbuatan sahabatnya. Amarah tidak stabil. Nasihat apapun tak akan Gilang
dengar.
Sebagian besar siswa mengelilingi Adli kecuali tiga sahabat
Gilang. Beberapa berinisiatif membawanya ke UKS. Sebelum sempat mengangkat
tubuh Adli, Bu Mey sudah datang seketika memasang muka terkejut.
"Cepat bawa Adli ke UKS," wajah keibuann Bu mey
berubah ke dalam raut tegasnya.
Tiga orang siswa sudah bersiap mengangkat tubuh Adli dan
membawanya ke UKS. Bu Mey memasang mode amarah bersiap mencari dalang dari
kejadian pemukulan Adli.
"Siapa yang...," sebelum tuntas mulut Bu Mey
melafalkan kata selanjutnya. Gilang dengan berani berdiri mengakui segala
bentuk kekhilafannya.
Wajah Bu Mey seketika berubah. Menatap dengan sendu kepada
seorang anak yang sangat ia sayang. Teringat ketika Ibunya Gilang berkaca-kaca
meminta bantuan Bu Mey untuk menjaga Gilang seperti anaknya sendiri. Ketika
tiga hari Gilang tak masuk sekolah perasaan khawatir hinggap di dada Bu Mey.
Kemungkinan paling buruk sempat menghampiri pikirannya, takut Gilang berhenti
sekolah.
Bu Mey dan Ibunya Gilang, Dulu adalah sahabat karib.
Layaknya gerombolan tiga bebek satu angsa. Selalu bersama kemana pun kakinya
melangkah. Gilang sudah Bu Mey anggap seperti anaknya.
Di ruang UKS. Adli terbangun mengakhiri aktingnya yang
layak mendapatkan piala citra. Ketiga temannya terkejut melihat Adli tampak
sehat setelah mengusap darah dari hidungnya.
"Keterlaluan Gilang. Pukulannya lumayan,"
setengah meringis ia berucap kemudian tersenyum licik.
Ketiga temannya diancam untuk tidak menceritakan kejadian
sebenarnya kepada siapapun. Tiga kepala menangguk pertanda setuju dengan
kesepakatan yang Adli buat. Lembar uang rupiah Adli berikan sebagai kompensasi
kebohongan mereka. Begitu licik untuk ukuran anak SD.
Adli merogok sakunya mengeluarkan benda paling ajaib saat
itu. Handphone dengan dimensi tebal
sudah ia pegang. Jarinya lincah mengetik beberapa kata. Tak perlu menunggu
lama. Pak Adnan menerima pesan penuh kebohongan anaknya. Ia bergegas menuju
proyek pembangunan perumahan.
Keringat mengucur deras. Ayah Gilang berjibaku dengan
tumpukan bata merah menyusunnya hingga berbuku-buku. Tetiba tumpukan bata merah
jatuh menimpa kakinya. Teriakan kesakitan ia pendam. Tidak mau membuat
teman-temanya panik. Kakinya membiru menyisakan luka linu. Andai tak ada istri
dan ketiga anaknya sudah dari lama ia menyerah terhadap takdir.
Jadi membayangkan kerja keras seorang ayah demi keluarga.
ReplyDeleteWaduh,.apa yang akan dilakukan Adli terhadap Gilang? Dag dig dug bacanya...serasa ada di dalam cerita
ReplyDeleteLicik bgt Adli ..
ReplyDeleteSok kaya
Harap harap cemas nasib gilang
ReplyDeleteJangan-jangan bapaknya Gilang mau di pecat sama Pak Adnan.
ReplyDeleteSd saja liciknya macam tu. Gimana gedenya... hahaha
ReplyDeleteYaahhh... Pingsan beneran dong dli..
ReplyDelete