Hai, kawan. Kali ini aku akan bercerita tentang bebek dan angsa. Dalam kelanjutan kisah "Jarak", jarak adalah cerita bersambung jadi mohon dibaca jarak bagian 2. Tinggal klik yah bagi yang belum membacanya. Selamat menikmati
Lonceng pertanda jam masuk sekolah sudah berbunyi satu jam lalu. Tiga siswa yang teracuhkan dari dunia pendidikan baru saja datang melewatkan kewajiban warga negara untuk mengikuti upacara bendera. Selayaknya kumpulan bebek yang tak mengikuti kelompoknya, mereka terabaikan dari kesatuan. Mencari jalan lain akan sisi kehidupan. Jika teman-teman sebayanya menghabiskan waktu hanya dengan belajar dan bermain, mereka punya kewajiban lain untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Bagi mereka makan adalah hal yang mewah harus ditebus dengan nyawa. Sehari yang lalu sahabatnya harus mengembalikan nyawa kepada Tuhan, tusukan pisau tepat menghujam dada sebagai perlawanan agar rupiah tak direbut gerombolan preman terminal. Jurdi sudah tiada beritanya menghiasi sudut kecil koran lokal dikalahkan oleh pemberitaan artis yang sedang sakit perut.
Tiga bebek yang terpisah dari kelompoknya berusaha kembali namun mereka tertinggal terlalu jauh, tak ada yang mengenali, lebih tepatnya tidak ada yang mau kenal lagi. Seragam putih merah sebagai ciri anak sekolah sudah tak nampak di pinggiran jalan, berpindah ke ruang kelas mempelajari banyak hal tentang keilmuan. Di balik gerbang tiga orang bocah berumur tak lebih dari sepuluh tahun mengenakan baju putih yang tak lagi putih, celana merah yang tak lagi merah sudah pudar berganti warna. Seragam hasil pemberian, entah sudah berapa generasi seragam itu beralih badan.
Tiga bebek berusaha kembali ke kelompoknya setelah berkelana dalam ganasnya hutan bernama kehidupan. Mereka mencoba menjadi bebek patuh dengan perintah pengembala. Pengembala nampak tak senang dengan kehadiran tiga bebek yang sudah seminggu tak mengikuti rombongannya. Rasa kesal sempat nampak namun kerendahan hati Sang Guru mengizinkan mereka masuk tentunya dengan berbagai syarat, sebenarnya Bu Mey sudah tahu bahwa ada kehidupan keras diluar sekolah menghadang mereka.
Tatapan penuh arti terfokus kepada tiga sejoli, sudut mata heran terlihat sepanjang jalan menuju kelas. Pandangan itu tak hilang meskipun sudah memasuki ruangan bertuliskan kelas 4B. Sedikit sekali yang kenal mereka di kelas itu, tepatnya acuh serta tak mau peduli. Kursi paling belakang menjadi tujuan tiga sekawan, kursi yang kesepian karena sudah seminggu ditinggalkan tiga penghuninya. Debu di meja dihilangkan, buku lusuh dikeluarkan.
Bu Mey memulai kembali pelajaran setelah mengajak siswa lain untuk berbagi pengetahuan kepada tiga orang lama tetapi baru kembali bersekolah. Lama dan baru adalah kata membingungkan, tiga tahun sudah 30 siswa bersama menjadi teman lama namun tetap saja tatapan tak bersahabat seolah menjadi hal baru bagi mereka.
“Lang, seru yah kalau kita di sekolah beda banget dengan di jalan ?,” Jama antusias terhadap tatapan siswa lain, sedari tadi tertuju kepada mereka.
“Bedanya apa sih Jemz ?, kadang-kadang omongan kamu nggak jelas,” menyambar pertanyaan Jama
“Kalian berdua bukannya memperhatikan Bu Mey, kita di sini untuk belajar”
Ketika mengamen di acuhkan, ketika di sekolah mereka di perhatikan, diperhatikan dengan tatapan tak suka namun pada akhirnya kembali terabaikan. tiga bebek liar harus mengejar ketertinggalan pelajaran dalam rombongan yang tak pernah peduli ada atau tidaknya mereka.
“Tugas untuk minggu depan, bentuk kelompok beranggotakan 4 orang. Tugasnya Ibu beritahu setelah kelompoknya terbentuk”
Penolakan demi penolakan menghampiri tiga bebek liar. Bebek normal mana yang mau bergabung dengan spesies terbuang seperti mereka, setidaknya itu anggapan sebagian besar siswa kelas 4B. Hampir saja tiga sejoli menyerah sembari mengusulkan untuk membentuk kelompok beranggotakan tiga orang. Bu May menolak memerintahkan harus ada satu orang lagi agar masuk ke kelompok mereka. Hening sempat terjadi sebelum keheranan menyebar begitu cepat.
Seorang anak perempuan mengangkat tangan sebagai tanda kesediaan bergabung bersama tiga bebek liar. Teman-temanya sempat mengingatkan agar tidak bergabung dengan kelompok itu. Gadis kecil yang baru seminggu teguh untuk bergabung dengan mereka. Tanggapan sinis dari siswa lain lahir terlontar.
“Kamu belum tahu siapa mereka, mereka berandalan sebagai anak baru jangan sampai kau bergaul dengan kelompok itu.”
Ucapan sinis tak pernah ditanggapi, gadis itu tetap teguh untuk bergabung dengan tiga bebek liar. Ia tahu siapa mereka, dirinya sempat bertemu Gilang dan Jama. Beberapa menit pertemuan itu cukup menjadi alasan bahwa tiga sejoli itu tak seperti yang dibicarakan kebanyakan siswa lain.
“Gilang, Jama, Teguh dan Fika, kalian satu kelompok,” seru Bu Mey sembari menegaskan bahwa jam pelajaran sudah selesai.
Fika, gadis kecil yang meminta dinyanyikan lagu Indonesia raya saat mereka mengamen di kereta, kini resmi bergabung dengan tiga bebek liar. Fika sebenarnya adalah angsa yang melawan kebiasaan untuk bergabung dengan tiga orang di luar habitatnya.
Satu Angsa dan tiga bebek liar bersama membentuk koloni dengan bermacam ketidaksamaan. Perbedaan diantara mereka menjadi bahan pembicaraan. Selalu saja hal-hal tak biasa menjadi buah bibir banyak orang. Menghujat sana-sini, menanggapi perbedaan dengan hujatan. Hakikatnya perbedaan awal dari sebuah keindahan sekalipun kisah memilukan siap dihadapi sebagai ujian dari sebuah kebersamaan tak biasa.
Angsa dan bebek bersama menghadapi kisah memilukan yang sebentar lagi hinggap di pelupuk mata.
Lonceng pertanda jam masuk sekolah sudah berbunyi satu jam lalu. Tiga siswa yang teracuhkan dari dunia pendidikan baru saja datang melewatkan kewajiban warga negara untuk mengikuti upacara bendera. Selayaknya kumpulan bebek yang tak mengikuti kelompoknya, mereka terabaikan dari kesatuan. Mencari jalan lain akan sisi kehidupan. Jika teman-teman sebayanya menghabiskan waktu hanya dengan belajar dan bermain, mereka punya kewajiban lain untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Bagi mereka makan adalah hal yang mewah harus ditebus dengan nyawa. Sehari yang lalu sahabatnya harus mengembalikan nyawa kepada Tuhan, tusukan pisau tepat menghujam dada sebagai perlawanan agar rupiah tak direbut gerombolan preman terminal. Jurdi sudah tiada beritanya menghiasi sudut kecil koran lokal dikalahkan oleh pemberitaan artis yang sedang sakit perut.
Tiga bebek yang terpisah dari kelompoknya berusaha kembali namun mereka tertinggal terlalu jauh, tak ada yang mengenali, lebih tepatnya tidak ada yang mau kenal lagi. Seragam putih merah sebagai ciri anak sekolah sudah tak nampak di pinggiran jalan, berpindah ke ruang kelas mempelajari banyak hal tentang keilmuan. Di balik gerbang tiga orang bocah berumur tak lebih dari sepuluh tahun mengenakan baju putih yang tak lagi putih, celana merah yang tak lagi merah sudah pudar berganti warna. Seragam hasil pemberian, entah sudah berapa generasi seragam itu beralih badan.
Tiga bebek berusaha kembali ke kelompoknya setelah berkelana dalam ganasnya hutan bernama kehidupan. Mereka mencoba menjadi bebek patuh dengan perintah pengembala. Pengembala nampak tak senang dengan kehadiran tiga bebek yang sudah seminggu tak mengikuti rombongannya. Rasa kesal sempat nampak namun kerendahan hati Sang Guru mengizinkan mereka masuk tentunya dengan berbagai syarat, sebenarnya Bu Mey sudah tahu bahwa ada kehidupan keras diluar sekolah menghadang mereka.
Tatapan penuh arti terfokus kepada tiga sejoli, sudut mata heran terlihat sepanjang jalan menuju kelas. Pandangan itu tak hilang meskipun sudah memasuki ruangan bertuliskan kelas 4B. Sedikit sekali yang kenal mereka di kelas itu, tepatnya acuh serta tak mau peduli. Kursi paling belakang menjadi tujuan tiga sekawan, kursi yang kesepian karena sudah seminggu ditinggalkan tiga penghuninya. Debu di meja dihilangkan, buku lusuh dikeluarkan.
Bu Mey memulai kembali pelajaran setelah mengajak siswa lain untuk berbagi pengetahuan kepada tiga orang lama tetapi baru kembali bersekolah. Lama dan baru adalah kata membingungkan, tiga tahun sudah 30 siswa bersama menjadi teman lama namun tetap saja tatapan tak bersahabat seolah menjadi hal baru bagi mereka.
“Lang, seru yah kalau kita di sekolah beda banget dengan di jalan ?,” Jama antusias terhadap tatapan siswa lain, sedari tadi tertuju kepada mereka.
“Bedanya apa sih Jemz ?, kadang-kadang omongan kamu nggak jelas,” menyambar pertanyaan Jama
“Kalian berdua bukannya memperhatikan Bu Mey, kita di sini untuk belajar”
Ketika mengamen di acuhkan, ketika di sekolah mereka di perhatikan, diperhatikan dengan tatapan tak suka namun pada akhirnya kembali terabaikan. tiga bebek liar harus mengejar ketertinggalan pelajaran dalam rombongan yang tak pernah peduli ada atau tidaknya mereka.
“Tugas untuk minggu depan, bentuk kelompok beranggotakan 4 orang. Tugasnya Ibu beritahu setelah kelompoknya terbentuk”
Penolakan demi penolakan menghampiri tiga bebek liar. Bebek normal mana yang mau bergabung dengan spesies terbuang seperti mereka, setidaknya itu anggapan sebagian besar siswa kelas 4B. Hampir saja tiga sejoli menyerah sembari mengusulkan untuk membentuk kelompok beranggotakan tiga orang. Bu May menolak memerintahkan harus ada satu orang lagi agar masuk ke kelompok mereka. Hening sempat terjadi sebelum keheranan menyebar begitu cepat.
Seorang anak perempuan mengangkat tangan sebagai tanda kesediaan bergabung bersama tiga bebek liar. Teman-temanya sempat mengingatkan agar tidak bergabung dengan kelompok itu. Gadis kecil yang baru seminggu teguh untuk bergabung dengan mereka. Tanggapan sinis dari siswa lain lahir terlontar.
“Kamu belum tahu siapa mereka, mereka berandalan sebagai anak baru jangan sampai kau bergaul dengan kelompok itu.”
Ucapan sinis tak pernah ditanggapi, gadis itu tetap teguh untuk bergabung dengan tiga bebek liar. Ia tahu siapa mereka, dirinya sempat bertemu Gilang dan Jama. Beberapa menit pertemuan itu cukup menjadi alasan bahwa tiga sejoli itu tak seperti yang dibicarakan kebanyakan siswa lain.
“Gilang, Jama, Teguh dan Fika, kalian satu kelompok,” seru Bu Mey sembari menegaskan bahwa jam pelajaran sudah selesai.
Fika, gadis kecil yang meminta dinyanyikan lagu Indonesia raya saat mereka mengamen di kereta, kini resmi bergabung dengan tiga bebek liar. Fika sebenarnya adalah angsa yang melawan kebiasaan untuk bergabung dengan tiga orang di luar habitatnya.
Satu Angsa dan tiga bebek liar bersama membentuk koloni dengan bermacam ketidaksamaan. Perbedaan diantara mereka menjadi bahan pembicaraan. Selalu saja hal-hal tak biasa menjadi buah bibir banyak orang. Menghujat sana-sini, menanggapi perbedaan dengan hujatan. Hakikatnya perbedaan awal dari sebuah keindahan sekalipun kisah memilukan siap dihadapi sebagai ujian dari sebuah kebersamaan tak biasa.
Angsa dan bebek bersama menghadapi kisah memilukan yang sebentar lagi hinggap di pelupuk mata.
betuul, perbedaan adalah awal dr keindahan
ReplyDeletebetuul, perbedaan adalah awal dr keindahan
ReplyDeleteFika:Angsa. Dan gilang pemimpin bebeknya?
ReplyDeleteHari ininbanyak cerita tentang hewan yah.. menginspirasi sekali.
ReplyDeletejadi pengen makan bebek, hehehe
ReplyDeletemantap bang. contoh analoginya banyak, catet. :D
Baris yang rapi ya bek... Saatnya mencari cacing untuk umpan bernama masa depan...
ReplyDeleteWah wah keren bang...
ReplyDeletePenasaran hubungannya antara Fika dan Dewi... ^^
Keren Kang Gilang... ^___^
ReplyDeleteBenar dugaanku, Fika adalah gadis yang minta dinyanyikan lagu Indonesia Raya.
ReplyDeleteJadi bagaimana Dewi bisa kenal dengan Fika?
Hmmm, masih penasaran.
Jadi pengen nyanyi potong bebek angsa
ReplyDeleteJadi pengen nyanyi potong bebek angsa
ReplyDeletePulang kerja nanti beli nasi bebek goreng ah ..
ReplyDeleteNyam nyam 😊
Ini masih bersambung yaa mas gilang ?
ReplyDeleteMasih kasian nasib si dewi
ReplyDeleteMasih kasian nasib si dewi
ReplyDeleteMasih kasian nasib si dewi
ReplyDeleteMenunggu kisah bebek dan angsa...
ReplyDeleteMenunggu kisah bebek dan angsa...
ReplyDelete