Cerpen Cinta Sedih : Rasa


Cerpen Cinta Sedih : Rasa



Aku tak pernah mengetahui apa yang ia pikirkan tentang diriku, aku juga tak pernah mengetahui bagaimana penilaliannya tentang diriku.Tapi yang jelas, segala sikap dan tingkah lakunya memberikan suatu arti di setiap langkahku bertemu dengannya. Kefasihannya dalam membimbing doa dan membaca Al-Qur'an meyakinkanku bahwa ia adalah orang yang tepat untukku, satu hal inilah yang membuat aku kagum padanya. Meski aku tak tau apa yang sedang merasuki pikiranku benar atau tidak adanya.

Aku semakin ingin mengenalnya ketika segala tingkah lakunya yang kocak, aneh dan sulit untuk ditebak seolah memberikan kunci rahasia bagiku. Pada ku terkadang tak peduli, seolah tak pernah mengenal diriku. Namun, terkadang berubah menjadi begitu akrab, perhatian dan kerap memberi warna dalam hidupku. Setiap kata yang tertuang dari bibirnya, seakan memberikan suatu kunci apa yang harus aku katakan padanya hari ini, besok, bahkan lusa. "Ya Allah... hamba mohon pada Mu, kuatkanlah hamba akan semua ini. Engkau Maha Mengetahui, Engkau Maha Melihat, dan Engkau adalah Maha dari segala Maha yang berada di alam semesta ini. Berikanlah hamba petunjuk, lindungilah hamba Mu ini Ya Allah... Berilah hamba jalan yang lurus dalam menemukan keridhaan Mu", lantunan ini selalu tersirat di hati, dikala sunyi ku berdo'a pada Nya.

Aku tak pernah berharap tuk jatuh hati padanya. Namun apalah dayaku, aku hanyalah seorang manusia biasa yang tak sempurna dan tak mampu tuk menahan gejolak rasa yang ada dalam diriku. Aku sungguh tak mampu untuk menolak apa yang telah tersurat dalam kehidupanku, aku suka pada dirinya dan mungkin aku menyanginya. Namun yang pasti, aku akan menggenggam rasa ini hingga saatnya tiba.

Dikala sendiri, terkadang aku teringat akan dirinya, ketika memimpin do'a, menegurku, mengejutkanku, membacakan puisi untukku, dan bahkan bersenda gurau denganku. Aku merasa kenyamanan ketika berada di sampingnya. Dan aku merasa, bahwa akan hadir seseorang yang akan selalu membimbingku dan melindungiku selamanya dengan kasih sayang yang tulus. Dalam kalbu ku selalu berdoa, semoga dia benar-benar dapat menjadi seorang sahabat yang dengan tulus memberikan kasih sayangnya padaku.

Namun, siapa yang salah? Kini aku berada dalam belenggu jiwa yang membara. Aku tergores akan bimbang, gelisah dan keraguan untuk menentukan suatu pilihan nyata yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya.

“Wien,,, bunda tau, apa yang kamu rasakan. Menangislah sepuasmu, luapkan semuanya. Bunda yakin, kamu bisa mengatasi semuanya. Jadilah seorang wanita yang sabar dan tegar dibalik cucuran air mata yang deras kamu alirkan”, suara bunda menyumbat lamunanku. Aku tersentak, dengan spontan aku memeluk bunda, “wiewien sayang bunda… Maafin wiewien ya bun, wiewien hanya jadi wanita yang teramat cengeng…”. “Iya,,, bunda juga sayang banget sama wiewien… Nah, sekarang waktunya mandi dan berangkat sekolah… Ingat, jangan nangis di sekolah ya sayang…!” “Okey bunda,,, makasih ya…” sekuntum kecupan manis dari bibir bunda pun aku dapatkan dan telah memberikan kekuatan bagiku untuk melangkahkan kaki kembali ke sekolah.

Segera aku mandi dan berseragam, tanpa sarapan aku berangkat ke sekolah. Di sekolah, kembali aku dihantui oleh rasa gelisah. “Ya Allah,,, apa rencanaMu selanjutnya? Apa yang sebenarnya akan terjadi padaku? Mengapa gelisah ini terus-menerus menghambatku. Hamba mohon,,, berilah hambaMu ini petunjuk…”, tersirat di kalbuku.

Aku mencoba menenangkan diri dengan membaca buku yang ada dalam genggamku. Mungkin masih terlalu pagi untuk teman-temanku berangkat ke sekolah, sehingga kelas masih tampak kosong tak berpenghuni. Kebetulan pelajaran pertama adalah Bahasa Indonesia dan akan diadakan ulangan lisan. “Hmmm…. pukul 07.10 wib, aku masih ada kesempatan 20 menit untuk dapat membaca buku catatan ini. Semoga hasilnya akan lebih baik dari ulangan teori kemarin, untuk membayar senyum bunda ketika ku pulang nanti”, tuturku dalam hati.

Ya,,, satu per satu teman-temanku memasuki kelas, saling sapa dan segera duduk dibangku yang sempat tak berpenghuni itu. Tanpa ku sadari aku tersenyum melihat ragam raut wajah mereka. Ternyata senyumku telah mengundang suara petir yang seolah membelah langit, merambat ke bumi dan merasuk ke dalam jiwaku, bersarang di hati untuk merobeknya hingga meninggalkan goresan luka yang mendalam hingga ku tak dapat menemukan ramuan untuk dapat menyembuhkannya.

Kali ini hal terlarang dari ibuku tak dapat ku cegah lagi, diriku tak terkendali. Air mata yang lama terbendung mengucur deras dari muara tanpa sumbat. Ya, ini semua karena suara petir itu dengan kesalahpahaman atas tindakan yang telah ku perbuat. Aku salah, salah, dan sangat salah, aku menyadari itu. Dan kini aku harus dapat mempertahankan sebuah persahabatan yang telah lama terjalin, aku harus menentukan yang terbaik, sebab aku tak ingin ada permusuhan atas tindakan salah paham yang ku perbuat ini.

Bel berbunyi pertanda masuk dan pelajaran pertama pun akan segera dimulai. Dengan perlahan, aku menghapus luapan air mata di pipiku. Aku mencoba tersenyum, agar raut musamku tak tampak. Ulangan lisan pun dimulai, dengan tenang aku hadapi semuanya. Tibalah giliranku, dengan sedikit terisak aku melangkah ke depan kelas. Alhamdulillah,,, walaupun sedikit gugup, aku mampu untuk menjawab semua pertanyaan dari guruku. Dan pelajaran pun usai tepat pukul 09.00 wib.

Peristiwa yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya pun terjadi. Aku serasa duduk dibangku pengadilan, aku sebagai tersangka yang harus siap dimasukkan dalam sel jika terbukti bersalah. Pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari bibir yang bernyawa.

Rasanya, aku tak sanggup untuk menjawab semua pertanyaan itu. Keburukan yang ingin aku sembunyikan, kini tak dapat ku hambat lagi. Air mataku kembali bercucuran, sungguh sulit untuk menjadi seorang wanita yang tegar, tegas tanpa air mata. Seorang sahabat, yang tampak dengan sangat membelaku tak dapat ku nilai lagi. Benarkah dia menyayangiku dengan tulus? Atau semua itu hanya ego untuk menyelimuti rasa bersalah karena teror yang tak jelas.

Seseorang yang aku harapkan untuk menjadi sahabatku pun juga berperan dengan melontarkan kata-kata yang sedikit menyejukkan suasana panas dalam diriku. “Sayang, aku menyanginya sebagai sahabat”, kalimat itu terlontar lantang dari bibirnya. Namun, benarkah dia menyangiku tanpa ego yang sesaat? Atau itu semua hanyalah sebuah ucapan yang dilontarkan sebagai pendingin dalam ruang panas ini, yang takkan pernah terealisasi dalam kenyataan hidup yang ada.

Dan kini aku merasa lega, setelah aku berhasil meluapkan satu rasa yang begitu besar, yang terbendung lama menyelimuti kalbuku. Aku menyanginya, aku menyangi sahabat-sahabat dan teman-temanku. Aku ingin semuanya merasakan kebahagia bila berada disampingku, sebab kebahagian semuanya merupakan suatu keindahan dalam rona kehidupanku. Bagiku sekali menyangi seseorang, selamanya aku akan tetap sayang dan rasa sayang itu takkan pernah berkurang dan takkan hilang, namun rasa sayang itu akan bertambah setelah aku menemukan orang yang tulus menyangiku untuk dirinya.

Aku tak peduli seberapa banyak orang yang membenciku, namun rasa sayang ini akan selalu ku jaga agar ku sejati sebagai seorang penyayang. Dan aku meyakini bahwa aku terlahir sebagai seorang penyayang tanpa harus menyimpan rasa benci pada siapapun. Sebab kebencian akan mudah memunculkan dendam yang dapat melukai diri kita sendiri dan orang lain yang kita benci. Kejujuran merupakan hal yang pertama bagi ku dan ku sangat membenci kebohongan.

Tanpa terasa, air mata pun mengering dipipiku. Aku pergi ke kamar mandi, dan membasuh wajahku yang tampak amat kusam. Aku tersenyum, untuk menghibur diri yang sesak akan masalah yang terjadi. Namun aku sedikit tenang, sebab statusku sebagai seorang tersangka di pengadilan telah berubah menjadi saksi dari sebuah peristiwa nyata yang tak terungkapkan ribuan kata.

Bel istirahat pun berbunyi, banyak lagi tugas-tugas yang harus aku selesaikan bersama teman-temanku. Aku merasa teramat lelah, namun lelah tersebut berhasil ku abaikan. Bel pun dengan nyaringnya berbunyi kembali pertanda masuk. Bel lagi, pertanda istirahat, masuk dan akhirnya pulang. Dengan sigap ku rapikan buku-bukuku dan ku masukkan ke dalam tas dan segera ku beranjak pulang. Rasanya ingin segera melihat sinar wajah sang bunda yang selalu menerangi gelapku, aku ingin segera beradu argument dengan dirinya agar ku dapat melepas senyum dan meninggalkan sementara penat masalah yang mengendap dalam pikiranku.

“Assalummu’alaikum bunda…” “Walaikumsalam sayang…” Aku sayang sama bunda, dan sampai kapan pun aku akan tetap menyanginya. Aku takkan penah meninggalkannya, karena ku takkan dapat hidup tanpanya dan kebahagianku yang abadi ada dalam genggamannya. “Terima kasih Bunda, kau bagaikan bintang dan mentari yang tak pernah padam mewarnai bumi”. JJJ 

Post a Comment