Kentut

Sudah tiga tahun mereka tidak bertemu. Anak pertama adalah pemilik perusahaan permen karet. Dia pencetus ide brilian tentang mengumpulkan huruf lalu disusun membentuk nama perusahaan yang dipimpinnya. Jika ada yang bisa mengumpulkan seluruh huruf maka hadiah menarik akan didapat. Sayang, huruf terakhir masih sebuah mitos. Sulit menemukan orang yang telah mendapatkan alfabet terakhir itu.

Anak kedua, peraih beasiswa S3 Fulbright scholarship. Sejak kecil dia kurang suka dengan kakaknya karena sering menjadi korban penipuan sang kakak. Salah satu alasan mengapa dia terus sekolah ialah agar tak mudah ditipu saudara tertuanya.

Anak terakhir ialah peraih prestasi mahasiswa abadi, enam tahun kuliah tak kunjung tuntas. Skripsinya selalu ditolak, wajar judul yang dia pilih diluar nalar. Analisis Daya Tahan Naruto Terhadap Benda Tajam, itulah judul yang menjadi bahan bully-an kedua saudaranya di dunia maya.

Mereka berkumpul atas desakan ibunya, ancaman dikutuk menjadi batu masih cukup ampuh di dunia semodern ini. Jika tanpa ancaman mungkin saja mereka tidak akan datang, terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Di saat bersama pun pandangan tiga bersaudara itu masih terpaku pada layar smartphone.

"Tuuuuuut," gas liar menyeruak mengalihkan
tangan dari smartphone menuju hidung.

"Ah, Ini pasti perbuatan si peraih beasiswa. Sejak dulu dia doyan kentut," Anak pertama menatap adik pertamanya.

"Kau dari dulu emang tukang fitnah. Dulu kau suruh aku naik pohon mangga. Kau bilang di sana ada belalang langka, padahal aku dikorbankan atas perbuatanmu nyolong mangga Wa Engkos." Anak kedua tak kalah keras bersuara.

"Salah siapa bodoh?" anak pertama tersenyum ketus.

"Sekarang aku sudah berbeda, gelar PhD sebentar lagi ada di belakang nama. Yang bodoh itu dia." Jarinya menunjuk anak ketiga.

"Kau sedikit pintar sekarang. Akal licik yang membuat citra aku dan dia turun di mata ibu." Pandangan sinis kali ini tertuju kepada anak ketiga.

"Aku memang bodoh tapi tak securang kakak."

Mereka terus saling menunduh. Jabatan dan gelar tak berpengaruh dalam urusan mencari pelaku kentut. Di tengah perdebatan raut wajah berbeda ditunjukan oleh sang ibu, dia tersenyum.

"Akhirnya kalian bisa mengobrol akrab seperti dulu." Sang Ibu bersuara di tengah perdebatan.

Anak pertama dan kedua berpikir sejenak lalu memeluk sang ibu. Anak ketiga masih terheran-heran, situasi berubah begitu cepat.

"Cepat peluk ibu. Kau dari dulu lambat berpikir." Seru anak pertama disertai anggukan anak kedua.

"Lalu siapa yang kentut Kak ?" Seru si bungsu.

6 comments