Peristiwa Terdahulu.

Pada suatu malam yang sepi, di saat jomblo-jomblo seluruh dunia meminta hujan kepada Sang Tuhan. Seorang pemuda sedang asyik dengan dunianya sendiri. Dia tak sibuk membuka media sosial untuk pamer kegalauan atau membuat status bermuatan kebencian. Dia memilih jalan yang berbeda untuk menikmati malam minggu.

Tumpukan buku yang menceritakan masa kejayaan Nusantara berjajar rapi di mejanya.
Dia mengambil salah dari buku yang bertuliskan Demak. Buku itu dilahap kata demi kata dengan antusias. Matanya berbinar membaca kisah seseorang bernama Jin Bun atau lebih dikenal dengan Raden Patah, seorang keturunan etnis Tionghoa yang mendirikan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.

Jarum pendek pada jam dinding sudah menunjukan angka 12. Di luar udara dingin menyelinap membuat sebagian orang memilih tidur lelap. Sementara dia masih berusaha bergelut dengan kantuk untuk membaca keperkasaan kerajaan Demak, tapi sayang sekuat apapun dia menahan kantuk akhirnya tumbang juga. Buku menjadi pengganjal kepalanya kini.

Jam dingin berputar mundur dengan cepat persis seperti Valentino Rossi yang dikejar Anjing galak. Dia terbangun di zaman yang berbeda, Desa Glagahwangi 1480 Masehi.
Tak ada gedung tinggi, tak jalanan yang padat dengan kendaraan, tentu juga tak ada sepasang remaja yang sedang memadu kasih di Fly over. Yang ada hanya lantunan ayat suci. Lantunan ayat suci itu bersumber dari rumah bilik yang luas dan asri.

Dia mengintip di balik pintu. Ratusan orang dengan serius membaca Al-Quran dipimpin oleh seseorang keturunan etnis Tionghoa. Dia ingat betul itu Jin Bun atau lebih dikenal dengan Raden Patah. Dia tak kuasa menahan gejolak rindu kepada pendiri kerajaan Demak sekaligus salah satu tokoh yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Selangkah lagi di hadapannya Raden Patah, tapi sayang dia malah terjungkal oleh sosok cahaya putih.

Dia berpindah puluhan tahun setelah Raden Patah sukses mengubah Desa Glagahwangi menjadi sebuah pesantren terkemuka bahkan berkembang pesat menjelma kerajaan Islam pertama.

"Adipati Unus, kita diserang Portugis," seorang prajurit menyampaikan pesan.

Dalam pikirannya sejuta pertanyaan timbul, tapi dia tahu bahwa Pati Unus adalah anak dari Raden Patah.

"Jangan takut, kita takkan biarkan secentipun kerajaan Demak disentuh mereka," Pati Unus berdiri gagah namun rentetan meriam menghujani kapalnya. Dia tak mundur sedikitpun walau darah menetes dari setiap tubuhnya. Kali ini meriam besar mengarah ke kapal anak Raden Patah. Pemuda itu pun terlempar jauh.

Dia terbangun dengan buku yang penuh air liur. 

1 comment