Sepasang Sepatu

Manusia tumbuh pesat di dunia, bahkan menyentuh angka tujuh miliar yang menginjakan kaki di planet bernama Bumi. Sayangnya satu miliar lebih adalah kami yang harus bersusah payah untuk sekadar makan. Iya kami, aku adalah salah satunya.

Sejak lahir ke dunia, aku tak pernah kenal orangtuaku siapa, yang aku tahu sudah setahun lebih kabur dari panti. Di sana sulit sekali untuk makan bahkan harus berebut dengan anak yang lebih besar. Tentu saja aku kalah.

Gerbong-gerbong tua menjelma rumahku. Di sana menjadi tempat untuk melepaskan segala lelah setelah berjualan tissue. Ada seseorang yang baik hati, memberikanku dagangan untuk dijajakan. Pedagang tissue seolah menjadi sindiran, harusnya aku yang sering memakai tissue karena setiap detiknya adalah airmata.

Banyak orang berkata "Semakin kaya kamu semakin banyak keinginan." Ini pertama kalinya aku bersyukur terlahir sebagai orang miskin. Hanya satu keinginan yang aku mau, sepatu. Sandal di kaki telah lama putus, aku terus memutar otak untuk memperbaikinya tapi kali ini ia sudah tak berdaya.

Aku mau sepatu karena ia kuat, tak seperti sandal, mudah putus. Impianku tentang sepatu selalu saja berakhir sebatas impian. Kertas-kertas yang kupunya tak pernah cukup. Terpaksa menguatkan diri untuk menahan berbagai benda tajam yang menusuk kaki, belum lagi terik mentari yang membuat lantai stasiun berubah panas. Bertambah sudah lepukan di kaki.

Hari ini aku menyaksikan orang-orang sibuk menanti kereta kelas eksekutif. Mereka memakai pakaian bagus dan tentu sepatu mereka juga bagus. Mereka bagian dari penduduk dunia yang beruntung, apalagi anak sebayaku di sana. Dia sangat senang dengan sepatu barunya bahkan menggosoknya beberapa kali hingga dalam sepatunya bisa melihat pantulan wajahku.

Kereta datang, orang-orang dan tentu anak itu berebut memasukinya. Aku terus memperhatikan bahkan ketika anak itu tersandung di pintu kereta kemudian sebelah sepatunya lepas. Saat itu stasiun sudah hening hanya menyisakan sebelah sepatu. Aku mendekati sepatu itu, ah sungguh indah. Jika aku memilikinya juga pasti bahagia.

Tunggu dulu, jika aku jadi anak itu pasti sedih, sepatu kesayangannya hilang. Kereta masih belum terlalu jauh. Sekuat tenaga aku mengejar kereta itu. Anak kecil yang aku cari melambai-lambai, tentu aku mau mengejar kereta untuk mengembalikan sepatunya. Sayang kecepatanku belum sebanding dengan kereta, aku kalah cepat. Satu-satu cara dengan melemparkan sepatu itu. Siapa tahu lemparanku tepat. Sayang, aku bukan pemain basket, lemparanku meleset.

Dari kejauhan nampak wajah murung anak itu, wajar bila sedih sepatunya hilang. Aku juga merasa sedih karena ketidakmampuan mengembalikan sepatunya. Sedetik kemudian aku melihat sepatu lain melayang. Anak itu melemparkan sepatu sebelahnya. Sekarang dia kehilangan sepasang sepatu. Apakah dia memberikan sepasang sepatunya untukku ?

6 comments