Kejadian Tak Terduga

Aku pulang ke rumah seperti biasanya, membawa setumpuk ceria. Suasana di sekolah begitu menyenangkan.Aku selalu merasa menjadi pahlawan di saat maju ke depan mengerjakan soal fisika dengan deretan angka di belakang koma. Teman-teman bertepuk tangan, soal dengan level sulit bagi mereka telah mampu aku taklukan. Senyum guru mengiringi seolah menjadi bahan baku sumber bagiku.

Tuhan sangat berbaik hati. Kebahagiaan di sekolah telah disempurnakan dengan kondisi keluarga. Ayahku pemimpin partai politik meskipun ia super sibuk selalu meluangkan waktunya untukku. Ibu seorang manajer rumah tangga super tangguh, mampu mengatasi berbagai keluhan anaknya dengan bijaksana. Kedua adikku yang lucu menjadi pelengkap potongan penyempurna bahagia.

Di saat usai sekolah, aku selalu ingin cepat pulang ke rumah. Menanti senyum sekaligus pelukan seorang mamah. Melihat ayah berkutat dengan puluhan berkas tapi masih sempat memberikan raut wajah terbaiknya untukku. Terbayang keceriaan adikku yang berlomba menyambut sang kakak tertua, namun hari ini terasa berbeda.

Jalan menuju rumahku terlihat sepi, biasanya beberapa ibu-ibu sedang bergosip, membicarakan sesuatu dengan kadar kebenaran belum jelas. Kemudian mereka menyapa dengan wajah cerianya. Hari ini suasana itu tidak aku temukan. Orang-orang lebih memilih berlarian menuju suatu titik yang tak pernah aku tahu. Semakin mendekati rumahku, kumpulan orang semakin ramai. Aku keheranan melihat kejadian yang tak biasa. Di sudut lain, Kulihat kendaraan bak terbuka membawa karangan bunga ekstra besar. Ku amati sekelilingi, beberapa orang menancapkan bendera kuning.

Aku berusaha tetap tenang. Menghilangkan berbagai tanya dan tetap percaya tak ada kejadian apa-apa. Keyakinanku hanya bertahan beberapa menit, dikalahkan pikiran negatif yang datang bertubi-tubi. Semakin dekat dengan rumah semakin besar rasa khawatir. Aku berlari sekuat tenaga, ingin rasanya cepat sampai rumah. Di pekarangan kudapati beberapa saudara terdekat menangis. Aku tanya kenapa, mereka hanya diam saja. Aku bergegas masuk ke rumah. Ku temukan ibuku juga menangis. Aku bertanya kemana ayah, tak ada seorangpun yang menjawab.

Ku mengitari berbagai sudut rumah, tak kutemukan sosok ayah. Ia menghilang bagai ditelan bumi. Tibalah aku di halaman belakang rumah. Aku melihat orang-oramh berkumpul di antara dipan. Mengelilingi ayahku yang kaku.

Kaku dihadapan sorotan kamera, dengan gemetar ia berkata "Semoga amanah menjadi walikota dapat saya emban dengan sebaik-baiknya. Terimakasih yang telah memilih saya. Terimakasih juga partai pendukung yang bekerja keras menguningkan daerah ini, ngomong-ngomong karangan bunganya bagus," Sembari diiringi tawa.

9 comments