Aku, Ayah dan Ayam.

Apa yang teman-teman pikirkan jika mendengarkan kata ayam ? Jelas akan beragam. Ayam bagiku tak hanya unggas dengan rasa khas ketika dimasak. Ayam memiliki kesan mendalam. Sosoknya yang menghantarkanku hingga bisa sukses seperti sekarang.

"Eh Lang, emang kamu udah sukses. Makan aja masih ngutang di warteg."

" Okey, okey aku ralat. Ngeselin banget sih kamu," Aku tiba-tiba bicara dengan diri sendiri. Tidaaak apakah ini indikasi aku gila. Gila karena mencintaimu. Uhuuuk. Dilanjut lagi bercerita tentang ayamnya.

Aku lahir dari seorang ayah yang memiliki hobi berternak ayam. Menurut ceritanya, ayah memelihara ayam sejak SD hingga SPG (Sekolah pendidikan guru) setara SMA. Berkat perantara rezeki dari berternak ia mampu bersekolah hingga jenjang tertinggi di keluarganya. Iya, Ayahku satu-satunya sarjana dari lima bersaudara. Selebihnya hanya mampu bersekolah hingga tingkat SMA.

Berkat jasa ayam. Ayah bisa kuliah dan mencukupi kehidupan keluargaku. Semenjak kuliah ayah mulai mengurangi intensitas mengurus ayam hanya ada beberapa ayam hias saja. Kesibukan kuliah dan mengajar menjadi alasannya. Seusai menyelesaikan kuliah. Barulah ia kembali berternak ayam. Tak kurang ratusan ayam kampung ia pelihara hingga seringkali aku harus berbagi tempat tidur dengan ayam. Maklum rumah dinas keluarga kami kecil untuk menampung 5 orang pun terkadang tak cukup. Ayah membuat kandang ayam dibelakang rumah, tentunya dengan lahan terbatas.

Saat itu kapasitas ayam sudah mencapai puncaknya. Mamah mulai resah dengan bau ayam yang sudah menyengat. Aku pun sama, baju-bajuku terasa bau ayam. Aku bingung semua keluargaku jadi bau ayam. Mamah bau ayam, adik-adikku bau ayam, ayah apalagi dan yang paling aneh ayam bau ayam. Positif, keluarga menjadi keluarga ayam.

Sempat beberapa kali ayah menyimpan ayamnya di dapur. Kebetulan dapur dan kamarku jaraknya tidak begitu jauh. Ketika aku sedang terlelap dalam mimpi. Seolah sedang berbicara dengan artis idola, dian sastro.

"Mba Dian, jika engkau lelah menunggu Rangga. Maukah denganku saja? " Dian sastro hanya mengangguk pelan.

"Mba Dian, please jawab. Aku akan berusaha lebih baik dari Rangga. Engkau tak usah khawatir." Wajahku berseri memasang rona terbaiknya.

Sedetik kemudian Dian mulai membuka mulutnya pertanda ia akan berbicara.

"Ketooook, keketoook." Tetiba Dian Sastro berbicara layaknya ayam. Aku curiga jangan-jangan dia siluman ayam. Akhirnya aku terbangun dari mimpi mengerikan itu. Tak terduga lima ayam menatapku dengan kesal. Kemudian naik ke kasur. Ternyata aku telah dinodai ayam. Iya, kotoran ayam berserakan dikasur dan kakiku.

Semua kejadian itu hanya tinggal kenangan. Semenjak sakit ayah tidak lagi mengurus ayam. Aktivitas ayah hanya mengajar kemudian istrirahat. Penyakitnya secara perlahan mengoyak daya tahan tubuhnya. Beberapa kali ia sempat terbaring di rumah sakit. Sekarangpun masih sama tak banyak aktivitas yang dilakukannya. Dalam hatiku seolah merindukan ayah yang dulu. Berternak ayam, kambing, itik bahkan lele. Sekarang sungguh berbeda, ia tergolek lemas di kamar.

Saat ini keluargaku hanya punya tiga ekor ayam. Semuanya di bawah kendali mamah. Mamahnya yang memberi makan, mamah yang mencari mereka di saat telat pulang. Ayam seolah menjadi saudaraku. Sedikit berbeda memang keluargaku dengan keluarga normal lainnya. Sekadar untuk persiapan Ramadan. Mamah akan membeli daging ayam di pasar. Uang untuk membeli daging itu diperoleh dari hasil menjual ayam peliharaan. Aku pernah bertanya perihal itu ke mamah. Mamah berusaha tak memakan ayam peliharaannya, sedih katanya. Menjualnya pun terkadang tak tega.

Tak bisa dipungkiri hidupku selalu bersinggungan dengan ayam. Ayahku peternak ayam. Mamahku penyayang ayam. Mungkin istriku kelak seseorang yang berkecimpung dalam dunia perayaman. Uhuuuuk. Semoga.

posted from Bloggeroid

3 comments

  1. Sehat terus ayah...

    Oiya, Aa kan bisa pelihara ayam.. Ga nge-galau mulu, eh

    ReplyDelete
  2. Istrinya juragan ayam
    Gak pa pa tu lang..
    Ide APA aja selalu gokil

    ReplyDelete